Jumat, 20 Maret 2015

Filsafat Pendidikan Islam


BAB I

PENDAHULUAN

 

A.     Latar Belakang

Manusia mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dia memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup tidak sekedar untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan kebudayaan, manusia memberi makna pada kehidupan, manusia memanusiakan diri dalam hidupnya, semua itu pada hakekatnya menyimpulkan bahwa manusia itu dalam hidupnya mempunyai tujan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsunagn hidupnya. Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannnya. Pengetahuan inilah yang mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di muka bumi ini. (Jujun S.S, 1982:40)

Pengetahuan ini mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni manusia mempunyai bahasa yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi informasi tersebut dan kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir tertentu. Menurut Sirajuddin (2004:1,2) ada dua bentuk pengetahuan, yaitu pengetahuan yang bukan berdasarkan hasil usaha aktif dari manusia dan pengetahuan yang berdasarkan hasil usaha aktif manusia. Pengetahuan pertama diproleh melalui wahyu, sedangkan pengetahuan kedua diperoleh melalui indra dan akal. Pengetahuan dalam bentuk kedua ini ada yang disebut dengan pengetahuan indra, pengetahuan ilmu (sains) dan pengetahuan filsafat.  Pengetahuan indra adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman sehari-hari seperti api panas, air membasahi, dan lain-lain. Sementara itu ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh melalui penyelidikan atau penelitan dengan menggunakan pendekatan ilmiah, seperti meneliti kenapa api panas dan apa unsur-unsur yang terdapat dalam api. Sementara itu pengetahuan filsafat merupakan hasil proses berpikir dalam mencari hakekat sesuatu sampai ke dasar segala dasar atau sedalam-dalamnya.

Filsafat seringkali disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk semang dari ilmu-ilmu. Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat dan lebih memadai. Filsafat telah mengantarkan pada sebuah fenomena adanya siklus pengetahuan sehingga membentuk sebuah konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur sebagai sebuah fenomena kemanusiaan. Masing-masing cabang pada tahap selanjutnya melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru dengan berbagai disiplin yang akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Ilmu pengetahuan hakekatnya dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan dengan patokan-patokan serta tolok ukur yang mendasari kebenaran masing-masing bidang.

Pokok permasalahan yang dikaji filsafat pada dasarnya mencakup tiga segi, yaitu apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah (epistemologi), mana yang dianggap baik dan mana yang dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan yang termasuk jelek (estetika). Kemudian cabang filsafat bertambah dua lagi yaitu filsafat keberadaan benda, dan filsafat politik. Lima cabang filsafat tersebut selanjutnya berkembang lagi menjadi sebelas, salah satu di antaranya adalah filsafat pendidikan. . Filsafat pendidikan bertujuan untuk mencari hakekat pendidikan, yaitu hal yang esensial di bidang pendidikan. Filsafat pendidikan pada dasarnya adalah rekonstruksi filsafat, ide, dan metode yang berjalan serempak. Filsafat pendidikan mencakup kebutuhan khusus rekonstruksi pendidikan pada saat ini dan rekonstruksi ide dasar darisistem filsafat tradisional. Hal ini menjadi penting karena perubahan dalam kehidupan sosial menyertai perkembangan ilmu, revolusi industri, dan perkembangan demografi.

Filsafat pendidikan menentukan arah tujuan pendidikan, termasuk kurikulum, metode pembelajaran, dan metode evaluasi yang mencakup aspek kognitif, psikomotorik dan afektif. Oleh karena itu, para perencana pendidikan, termasuk pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, harus menetapkan tentang arah tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Kemudian untuk mencapai tujuan ini, dikembangkan sistem pendidikan termasuk sistem persekolahan beserta kelengkapannya.

Filsafat agama islam sebagai salah satu cabang filsafat merupakan perpaduan antara agama dan filsafat, antara akidah dan hikmah, antara wahyu dan akal. Filsafat islam merupakan hasil pemikran umat isalm secara keseluruhan. Pemikiran umat islam ini merupakan buah dari dorongan ajaran Al Quran dan Al Hadis. Karena pendidikan menduduki posisi penting dalam kehidupan manusia, maka wajarlah muslim meletakkan Al Quran dan  Al Hadis, dan akal sebagai dasar-dasar teori –teori pendidikan.

Agama Islam adalah agama yang universal, yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupu ukhrawi. Salah satu aajran Islam adalah mewajibkan kepada umat manusia untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut ajaran Islam pendidikan adalah juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang mutlak  harus dipenuhi, demi untuk mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat.  Dengan pendidikan itu pula manusia akan mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk bekal dan kehidupannya. Dalam dunia filsafat, filsafat pendidikan merupakan bentuk filsafat khusus, yaitu bagian atau cabanga dari filsafat islam yang mengkhususkan obyek dan sasaran pembahasannya dalam bidang pendidikan. Kalau filsafat islam, sebgaimana halnya dengan filsafat pada umumnya mempunyai obyek yang luas, yaitu yang meliputi alam semesta, alam manusia dan yang dibalik alam, maka filsafat pendidikan islam sebagai bagian dari cabangnya membatasi obyek dan sasaran pembahasannya pada alam manusia yaitu mnegenai hakikatnya, perihidup dan kehidupannya.

Ilmu Pengetahuan Sosial  pada hakikatnya mempelajari bidang kehidupan manusia di masyarakat, mempelajari gejala dan masalah social yang menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ilmu Pengetahuan Sosial yang dalam bahasa Inggris disebut social studies adalah fusi dari beberapa ilmu sosial yang sangat diperlukan untuk memahami persoalan social dan memecahkan masalah sosial yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat menumbuhkan kepedulian, kepekaan dan kearifan sosial. Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan perwujudan dari suatu pendekatan interdisiplin (interdiciplinary approach) dari pelajaran ilmu-ilmu sosial (social sciences). Ia merupakan integrasi dari berbagai cabang ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, politik dan sebagainya. Ilmu pengetahuan Sosial berusaha mengintegrasikan materi dari cabang-cabang ilmu sosial dengan menampilkan permasalahan sehari-hari masyarakat sekitar. Ruang lingkup Ilmu Pengetahuan Sosial adalah manusia sebagai anggota masyarakat. Oleh karena itu, segala gejala, masalah, dan peristiwa tentang kehidupan manusia di masyarakat, dapat dijadikan sumber dan materi IPS. Dalam mengkaji materi-materi dalam Ilmu Pengetahuan social tidak terlepasa dari filsafat pendidikan islam, karena pada dasarnya manusia bertindak berdasarkan ajaran agama yang dianutnya.

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, maka penulis ingin mengkaji tentang kontribusi filsafat pendidikan islam dalam memperkaya ilmu pengetahuan social.

 

B.     Rumusan Masalah

Dari judul diatas, maka penulis dapat merumuskan beberapa masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:

1.      Dimanakah Kedudukan Filsafat dalam Ilmu pengetahuan Sosial?

2.      Bagaimana Peranan filsafat islam dalam ilmu pengetahuan social?

3.      Bagaimanakah kontibusi filsafat pendidikan isalm dalam ilmu pengetahuan social?

 

C.      Tujuan

Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan makalah ini, adalah :

1.      Mengetahui Kedudukan Filsafat dalam Ilmu pengetahuan Sosial.

2.      Mengetahui Peranan filsafat islam dalam ilmu pengetahuan social.

3.      Mengetahui  kontibusi filsafat pendidikan isalm dalam ilmu pengetahuan social.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

A.     PENGERTIAN FILSAFAT

1.      Arti istilah dan rumusan filsafat

Pengertian filsafat, dalam sejarah perkembangan pemikiran kefilsafatan, antara satu ahli filsafat dan ahli filsafat lainnya selalu berbeda, dan hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat itu sendiri. Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni secara etimologi dan secara terminologi. (Surajiyo, 2005:1)

a.       Filsafat secara etimologi

Menurut  Poedjawijatna (1974) dalam Tafsir Ahmad (1990: 8) menyatakan bahwa kata  filsafat dari kata Arab yang berhubungan erat dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang dari kata  Yunani. Kata Yunaninya ialah philosophia. Dalam bahasa Yunani, kata philosophia merupakan kata majemuk yang terdiri atas Philo dan Sophia; philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan arena itu lalu berusaha untuk mencapai yang diinginkannya itu; sophia artinya kebijaksanaan yang artinya pandai, pengertian yang mendalam. Jadi menurut namanya saja filsafat boleh diartikan ingin mencapai pandai, cinta pada kebijakan. Poedjawijatna (1974: 11) dalam Tafsir Ahmad (1990: 9) mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha mencari sebab yang sealam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran belaka.

 

b.      Filsafat secara Terminologi

Secara terminology adalah arti yang dikandung oleh istilah filsafat. Dikarenakan batsan dari filsafat itu banyak maka sebagai gambaran perlu diperkenalkan beberapa batasan.

1)     Plato

Plato berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tenatng kebenaran yang asli.

2)     Aristoteles

Menurut Aristoteles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik filsafat keindahan).

3)     Al farby

Filsuf Arab ini mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu (pengtahuan) tentang hakekat bagaimana alam maujud yang sebenarnya.

4)     Rene Descartes

Menurt Descartes, filsafat adalah kumpulan semua pegetahuan dimana Tuhan, alam, dan manusia menjadi pokok penyelidikan.

5)     Immanuel Kant

Menurtu Kant, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang menjadi pangkal dari semua pengetahuan yang didalamnya tercakup masalah epistemologi (filsafat pengetahuan) yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.

6)     Langeveld

Maha guru Rijks-Universiteit Utrecht ini  berpendapat bahwa filsafat adalah berpikir tentang masalah-masalah yang akhir dan yang menentukan, yaitu masalah-masalah mengenai makna keadaan, Tuhan, keabadian, dan kebebasan.

 

2.      Obyek studi dan metode filsafat

Objek adalah sesuatu yang merupakan bahan dari suatu penelitian ataiu pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai objek, yang dibedakan menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal. (Surajiyo, 2005: 5)

a.       Objek material filsafat

Objek material adalah suatu bahan yang menjadi tinajuan penelitian atau pembentukan pgetahuan itu. Objek material juga adalah hal yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh suatu displin ilmu. Objek material mencakup apa saja, baik hal-hal konkret ataupun yang abstrak. (Sugiyono, 2005: 5).

H. A. Dardiri (Sugiyono, 2005:6) berpendapat bahwa objek material filsafat adalah segala sesuatu  yang ada baik dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan. Kemudian apakah gerangan segala sesutau yang ada itu? Segala sesuatu yang ada  dapat dibagi dua, yaitu: 1) ada tentang hal ada pada umunya disebut ontologi. Adapun ada yang bersifat khusus dibagi dua, yaitu ada yang mutlak dan ada yang tidak mutlak. Ilmu yang menyelidiki tentang ada yang bersifat mutlak disebut theodicea. Ada yang tidak mutlak dibagi lagi menjadi dua yaitu alam dan manusia. Ilmu yang menyelidiki alam disebut kosmologi dan ilmu yang menyelidiki manusia disebut antropologi metafisik.

 

b.      Objek Formal filsafat

Objek formal adalah pusat perhtian yang biasa disebut focus of interst, yang karena setiap displin ilmu mempunyai objek formal yang khas, mka membuat setiap ilmu itu berbeda adlah objek formalnya. (Inu Kencana Syafiie, 2004: 4).

Objek formal ilmu filsafat adalah kebenaran, kebaikan dan keindahan secara berdialektika. (Inu Kencana Syafiie, 2004: 4). Kalau dalam ilmu-ilmu lain objek materialnya membatasi diri, sedangkan pada filsafat tidak membatasi diri. Adapun pada objek foormalnya membahas objek materialnya itu sampai ke hakikat atau esensi dari yang dihadapinya. (Surajiyo, 2005: 7).

 

3.      Metode filsafat

Kata metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuit, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara arah). Kata metedhodos sendiri berarti penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah, ukuran ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut system aturan tertentu. Anton Bakker (1984) dalam Surajiyo (2005: 7-8).

Lantaran banyakanya metode filsafat, Runes dalam Dictionary of Philosophy sebagaimana dikutip oleh Anton Bakker dalam Surajiyo (2005: 8,9) menguraiakan, sepanjang sejarah filsafat telah dikembangkan sejumlah metode filsafat yang berbeda dengan cukup jelas. Yang plaing penting dapat disusun menurut garis historis, sedikitnya ada 10 metode, yaitu sebgai berikut:

1.      Metode kritis: Socrates, Plato

2.      Metode Intuitif: Plotinus, Bergson

3.      Metode Skolastik: Aristoteles, Thomas Aquinas, Filsafat Abad pertengahan

4.      Metode Geometris: Rene Descarte dan pengikutnya

5.      Metode empiris: Hobbes, Locke, Barkeley, David Hume

6.      Metode Transedental: Immanuel Kant, Neo-skolastik

7.      Metode Fenomenologis: Husserl, Eksistensialisme

8.      Metode Dialektis: Hegel, Marx

9.      Metode Neo-Positvistis

10.  Metode Analitika Bahasa: Wttgenstein.

4.      Bidang kajian filsafat: Ontologi, Epistomologi, dan Aksiologi

a.       Ontologi

Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya. Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab akibat, dan kemungkinan.

Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan. Dan pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1) Paham monoisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme; (2) Paham dualisme, dan (3) pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik.

Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara rasional dan yang bisa diamati melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar iimu. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.

 

b.      Epistemologi

Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits of human knowledge). Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti “pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilmiah”, dan logos= teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitas) pengetahuan.

Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1) Apakah pengetahuan itu ?; 2) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu? ; 3) Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh?; 4) Bagaimanakah validitas pengetahuan itu dapat dinilai ?; 5) Apa perbedaan antara pengetahuan a priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan puma pengalaman) ?; 6) Apa perbedaan di antara: kepercayaan, pengetahuan, pendapat, fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian, kepastian ?

Langkah dalam epistemologi ilmu antara lain berpikir deduktif dan induk-tif. Berpikir deduktif memberikan sifat yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif pengetahuan ilnuah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional kepada objek yang berada dalam fokus penelaahan.

 

 

 

c.       Aksiologi

Aksiologi berasal dari kata axios yakni dari bahasa Yunani yang berarti nilai dan logos yang berarti teori. Dengan demikian maka aksiologi adalah “teori tentang nilai” (Amsal Bakhtiar, 2004: 162). Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105). Menurut Bramel dalam Anshari, E.S. (1981: 163) aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama, moral conduct, yaitu tindakan moral yang melahirkan etika; Kedua,- esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, Ketiga, sosio-political life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.

Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value dan valuation. Ada tiga bentuk value dan valuation, yaitu: 1) Nilai, sebagai suatu kata benda abstrak; 2) Nilai sebagai kata benda konkret; 3) Nilai juga digunakan sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai.

Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam perkembangannya melahirkan sebuah polemik tentang kebebasan pengetahuan terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas pengetahuan (value free). Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai atau yang lebih dikenal sebagai value bound. Sekarang mana yang lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan nilai.

Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologi raja: Jika hitam katakan hitam, jika ternyata putih katakan putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaran yang nyata. Sedangkan secara ontologi dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai antara yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36).

Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu-ilmu yang besar. Sebuah keniscayaan, bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang kuat. Jika ilmuan tidak dilandasi oleh landasan moral, maka peristiwa terjadilah kembali yang dipertontonkan secara spektakuler yang mengakibatkan terciptanya “Momok kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada ilmuan, sebagaimana juga dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai teori: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai teori dicirikan oleh cara berpikir rasional, orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta terbuka terhadap ide-ide dan pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam kaitannya dengan nilai sosial, manusia modem dicirikan oleh sikap individualistik, menghargai profesionalisasi, menghargai prestasi, bersikap positif terhadap keluarga kecil, dan menghargai hak-hak asasi perempuan; (3) nilai ekonomi : dalam kaitannya dengan nilai ekonomi, manusia modem dicirikan oleh tingkat produktivitas yang tinggi, efisien menghargai waktu, terorganisasikan dalam kehidupannya, dan penuh perhitungan; (4) Nilai pengambilan keputusan: manusia modern dalam kaitannya dengan nilai ini dicirikan oleh sikap demokratis dalam kehidupannya bermasyarakat, dan keputusan yang diambil berdasarkan pada pertimbangan pribadi; (5) Nilai agama: dalam hubungannya dengan nilai agama, manusia modem dicirikan oleh sikapnya yang tidak fatalistik, analitis sebagai lawan dari legalitas, penalaran sebagai lawan dari sikap mistis

5.      Cabang-cabang filsafat

Filsafat secara garis  besar dapat dibagi ke dalam dua kelompok, yakni filsafat sistematis dan sejarah filsafat. Filsafat sitematis bertujuan dalam pembentukan dan pemberian landasan pemikiran filsafat. Didalamnya meliputi logika, metodologi, epistemologi, filsafat (teologi), filsafat manusia, dan kelompok filsafat khusus seperti filsafat sejarah, filsafat hukum, filsafat komunikasi, dan lain-lain. Adapun sejarah filsafat adalah bagian yang berusaha meninjau pemikiran filsafat di sepanjang masa. Sejak zaman kuno hingga zaman modern. Bagian ini meliputi sejarah filsafat Yunani (Barat), India, Cina dan sejarah filsafat Islam.

Louis O. Kattsoff menyebutkan bahwa cabang filsafat adalah logika, metodologi, metafisika, epistemology, filsafat biologi, filsafat psikologi, filsafat antropologi, filsafat sosiologi, etika estetika (Surajiyo (2005: 19)

 

 

6.      Jalinan Ilmu, filsafat dan agama.

Filsafat dan ilmu

Ilmu adalah pengetahuan. Tetapi ada berbagai pengetahuan. Dengan “pengetahuan ilmu” dimaksud pengetahuan yang pasti, eksak dan betul-betul terorganisasi. Jadi penegtahuan yang berasaskan kenyataan dan tersusun baik. Ilmu (Latin : Scientia) mengandung tiga kategori isi: hipotesis, teori, dan dalil hukum. Ilmu haruslah sistematis dan berdasarkan metodologi dan ia berusaha mencpai generalisasi. 

Ilmu penegetahuan itu hasil usaha pemahaman manusia yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian, bagian-bagian dan hokum-hukum tentang hal-ihwal yang diselidikinaya (alam, manusia, dan juga agama) yang dibsejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran manusia ag dibantu penginderaannya, yang kebenrannya diuji secara empiris, riset dan eksperimental. Sedangkan filsafat ialah “ilmu istimewa” yang mencoba menjawab masalah-masalah yang tidak dapat di jawab oleh pengetahuan biasa, karena masalah-masalah termaksud di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan biasa. ( Anshari, 1981: 157)

Baik ilmu ataupun filsafat sama-sama mencari pengetahuan dan pengetahuan yang dicari itu ialah pengetahuan yang benar. Dalam segi ini maksud keduanya sama. Tetapi dalam persamaan itu ada perbedaan. Pengetahuan ilmumelukiskan, sedangkan pengetahuan filsafat menafsirkan.

Ilmu menggali pengetahuan dari fakta-fakta dan merumuskan penegtahuan itu dalam bentuk teori atau hukum. Karen pengetahuan itu sesuai dengan faktanya, maka pengetahuan yang digali dan yang dinyatakannya itu adalah benar.

Bukan saja ilmu, tapi filsafat juga mencari pengetahuan yang pasti, eksak, teratur, dan tersusun. Tetapi kepastian dan keeksaann pengetahuan filsafat tidak mungkin diuji seperti pengetahuan ilmu. Ilmu tersusun dari hasil riset dan eksperimen. Filsafat hasil dari berpikir radikal, sistematis, dan universal. Kebenaran ilmu sepanjang pengalaman, kebenaran filsafat sepanjang pemikiran.

Ilmu mencari pengetahuan dari segi-segi tertentu, bidang-bidang khusus. Sedangkan filsafat mencari pengetahuan dari semua segi dan bidang menyeluruh. Ilmu dapat kita bagi dua: ilmu murni (pure science), yang bersifat teori; dan ilmu terapan (applied sience), yang bersifat praktik.

Ilmu terapan adalah lanjutan dari ilmu teori. Dalam kehidupan sehari-hari umumnya kita tertarik pada hal-hal yang praktis. Untuk itu kita bertanya kepada ilmu terapan. Tetapi kadang-kadang timbul pertanyaan dalam hati kita apa makna, apa guna, tujuan dan nilai tindakan itu; apa makna, tujuan, guna dan nilai hidup kita dan dunia kita. Ketika itu kita bertanya pada filsafat. (H.A. Fuad Ihsan, 2010:57-66)

Hubungan filsafat dan ilmu menurt pandangan kaum filsuf terbagai dua:

                   a.      Hubungan erat antara keduanya. Perkembangan ilmu harus bersama-sama degan filsafat, bahkan ada yang menyamakan filsafat dengan ilmu.

                  b.      Filsafat tidak berkaitan dengan ilmu. Ia otonom dan tidak mau diperalat.

 

Filsafat dan agama

Untuk membahas hubungan  filsafat dengan agama dan perananya terhadap agama, harus diselesaikan terlebih dahulu pengertian agama. Apa itu Agama? Apabila kita kaji etimologinya, kata agama membawa kita kepada bahasa Sansekerta. Akar kata a-gam-a ialah gam, yang berarti pergi atau berjalan. Sansekerta adalah bahasa Indo Jerman. Dalam bahasa Belanda, dan Inggris (kedua-duanya juga bahasa-bahasa Indo Jerman), kita temukan kata “ga” (Belanda =gam, dan Inggris =go) yang serumpun dengan gam dan berarti sama. Dengan ditambah awalan a dan akhiran a, gam menjadi agama, yang berarti jalan. Jalan kemana? Dalam agama Hindu, tentu jalan ke Nirwana. Kata jalan dengan makna yang sama kita temukan pula dalam pristilahan Islam: syariat, thariqah, shiratahal mustaqim (jalan lurus). Kata agama dalam Bahasa Indonesia kabur dan kacau pegertiannya. Umumnya ia diekuivalenkan orang dengan religi (religion) kata religi sebagai istilah ilmu telah tertentu artinya (Fuad Ihsan, 2010:73-74).

Ada dua kategori agama (Randall dan Buchler, 1942, dalam Uyoh Sadulloh, 2011:49): 1) agama budaya (yang disebut oleh kepustakaan Barat dengan nama religion), 2) agama langit (disebut oleh kepustakaan tersebut dengan revealed religion).  Agama budayalah yang lahir dalam kebudayaan. Kalau agama ini tumbuh dibumi, adalah agama langit diturunkan dari langit. Yang pertama dibentuk oleh filsafat masyarakat (tentu dirumuskan olef filsuf masyarakat itu, apakah ia sebagai pemimpin masyarakat (tentu dirumuskan oleh filsuf masyarakat itu, apakah ia sebagai pemimpin masyarakat atau penganjur agama). Sedangkan yang kedua di bentuk oleh wahyu Tuhan.

Inti soal agama dan sasaran utamanya ialah alam gaib. Alam gaib bukanlah lapangan ilmu, yang dengan riset dan eksperimennya menghimpun fakta. Dari alam Gaib tidak mungkin digali fakta. Kalau mungkin, ia bukan gaib, tapi alam nyata. Soal agama adalah soal hati. Budi disni hanyalah pelengakap. Dalam agama budaya, budi itu bahkan diabaikan atau diperbudak oleh hati, dan mengontrolnya agar jangan tergelinsir kepada khayalan dan dongeng dalam mengartikan, memahami dan mengamalkan agama itu.

Karena tidak ada fakta yang akan dipegangi budi, diandalkannyalah kerja atas tenaganya sendiri, yaitu logika. Dan ketika budi itu mempergunakan sifat-sifat sistematis, radikal dan universal dalam berpikirnya, maka budi itu telah memasuki filsafat dalam mengartikan, menafsirkan, menjelaskan, mengulas agama. Filsafat itu, karena dikaitkan dengan agama, menjadi filsafat agama.

Untuk dapat termakan oleh akal, agama dapat meminta pada filsafat untuk menerangkan, mengulas, menafsirkannya pada budi. Persamaan lain antara filsafat dan agama ialah masing-masing merupakan sumber nilai, terutama nilai-nilai etika. Perbedaannya lagi dalam hal ini, nilai-nilai etika filsafat merupakan produk akal, sedangkan nilai-nilai agama dipercayai sebagai ditentukan oleh Tuhan. Nilai-nilai etika filsafat berubah-ubah menurut ruang dan waktu, seirama dengan prubahan cara berpikir dan merasa manusia. Ia nisbi sekali. Sedangkan  nilai-nilai etika agama (agama langit) mengatasi ruang dan waktu, abadi, bahkan mengatasi peralihan dunia kepada akhirat. Ia mutlak, karena berasal dari Yang Mutlak pula. Dan pembalasan laku perbuatan etika menurut agama itu adalah pasti (Fuad Ihsan, 2010: 75-82).

 

 

B.     FILSAFAT ISLAM

  1. Arti istilah definisi filsafat Islam

Perkembangan filsafat dalam dunia islam, nampak nyata setelah umat islam bangsa Arab pada masa itu berkomunikasi dengan dunia sekitarnya, berhubungan dengan peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa yang didudukinya serta menerima pengaruh daripadanya. Perkembangan filsafat tersebut dipercepat oleh kaum muslimin dengan adanya usaha penerjemahan berbagai macam buku ilmu pengetahuan, terutama fisafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Namun demikian, bukan berarti bahwa pemikiran-pemikiran filososis belum dikenal oleh umat islam sebelum itu. Sebelum masuknya istilah filsafat dan filosof dalam dunia islam, umat islam telah mengenal istilah “Al Hikmah” dan usaha untuk mencari al hikmah, yang mempunyai pengertian dasar yang sama dengan filsafat. (Zuhairini, dkk, 2008: 107)

Jadi yang disebut dengan filsafat islam adalah perkembangan pemikiran umat islam dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam semesta yang disinari ajaran Islam. Adapun definisnya secara khusus sebagai berikut (Sirajuddin, 2004: 15)

1.      Ibrahim Madkur. Filsafat islam adalah pemikiran yang lahir dalam dunia islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam semesta, wahyu, dan akal, agama dan filsafat.

2.      Ahmad Fu’ad Al Ahwaniy, filsafat islam adalah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam

3.      Muhammad ‘Athif raqy, filsafat islam secara umum di dalamnya tercakup ilmu kalam, ilmu ushul fiqih, ilmu tasawuf dan ilmu pengetahuan lainnya yang diciptakan oleh intelektual Islam. Pengertiannya secara khusus, ialah pokok-pokok atau dasar-dasar pemikiran filosofis yang dikemukakan para filosof muslim.

Perlu diingat bahwa filsafat islam adalah filsafat yang bermuatan religious (keagamaan) namun tidak mengabaikan persoalan-persoalan kefilsafatan. Jadi, pengakuan tenatng adanya filsafat islam harus dilihat dari ajaran pokok agamanya. Karena pada hakekatnya jika tidak ada ilham Al Quran sebagai sumber dorongan, filsafat dalam dunia islam dalam arti yang sebenarnya tidak akan pernah ada.

  1. Pandangan islam tentang filsafat

Menurut Dr. Ahmad Fuad Al Ahwani (Zuhairini, dkk, 1991:65) menyatakan dalam kitabnya “Ma’anil Falsafah”, bahwa filsafat itu adalah sesuatu yang terletak di antara agama dan ilmu pengetahuan. Ia menyerupai agama pada satu sisi karena ia mengandung permasalahan-permasalahan yang tidak dapat diketahui dan dipahami sebelum orang beroleh keyakinan dan ia mneyerupai ilmu pengetahuan di sisi lain karena ia merupakan sesuatu hasil daripada akal pikiran manusia, tidak hanya sekedar mendasarkan kepada taklid dan wahyu semata-mata. Dimana ilmu merupakan hasil-hasil pengertian yang terjangkau dan terbatas, agama dengan keyakinannya dapat melangkahi/melampaui garis-garis pengertian yang terbatas itu.

Ada beberapa ulama yang terutama tergolong salaf, tidak menyukai dan tidak sependapat adanya filsafat dalam islam, bahkan menganggapnya bid’ah yang dapat menyesatkan, namun banyak pula ulama islam yang menganggap sangat penting adanya filsafat, karena sangat membantu dalam menjelaskan isi kandungan Al Quran dengan keterangan-keterangan yang dapat diterima oleh akal manusia terutama mereka yang baru mengenal islam dengan ajarannya dan mereka yang belum kuat imannya. Imam gazali yang semula menentang filsafat, kemudian berbalik mempelajarinya dan banyak menggunakannya untuk uraian-uraiannya mengenai ilmu tasawuf. Ulama-ulama ini menganggap besar faedahnya mempelajari filsafat dan berpendapat bahwa dalam Alquran banyak sekali ayat-ayat yang menyuruh manusia berpikir mengenai dirinya dan mengenai sarwa alam untuk meyakini adanya Tuhan sebagai penciptanya. (Zuhairini,dkk, 2008:67-68).

Tampak jelas dari uraian-uraian diatas  bahwa isalm tidak mencegah orang mempelajari/mendalami filsafat, bahkan menganjurkan orang berfilsafat, berpikir menurut logika untuk memperkuat kebenaran yang dibawa Al Quran dengan dalil akal dan pembahasan rasional. Aspek pemikiran kepercayaan dalam isalm terutama dalam masalah keimanan, aqidah, ketuhanan, menunjukkan pembahasan yang cukup lama telah semasa Nabi masih hidup, yang kemudian menjadi sebab pokok dari ilmu-ilmu yang berbeda-beda, sebagaimana kalam (dogmatic scholastic), dan tasawuf (mystic-spiritualistic). Diskusi dan polemic keagamaan antara ulama muslam dengan tokoh agama non muslim mulai telah memperkenalkan elemen-elemen asing dari filsafat Yunani, India dan sebagainya. Tersebab itu bermuncullah tokoh-tokoh di kalangan isalm, dengan nama-nama besar seperti Al kindi, Al farabi, ibnu sina, ibnu Rusyd dan lain-lain. Banyaknya terjemahan buku-buku asing terutama buku-buku filsafat Yunani lebih banyak menguak bukti pentingnya filsafat dalam kancah keilmuan isalm. (zuhairin, dkk, 2008: 69-70)

 

3.      Pemikiran filsafat islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan

Perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia islam pada masa jayanya, tidak lepas dari pengaruh filsafat yunani dan pemikiran-pemikiran tentang alam yang sudah ada sebelumnya. Sebagaimana diketahui bahwa filsafat adalah induk ilmu pengetahuan, telah berkembang dan bercabang-cabang menurut obyeknya masing-masing.

Dalam segi metodologi ilmiah ternyata bahwa ahli-ahli ilmu pengetahuan dan filosof dari kalangan muslimin, adalah merupkan perintis-perintisnya. Pola berpikir rasional dalam dunia ilmu pengetahuan, berasal dari filosof-filosof islam. Demikian pula metode empiris bahkan eksperimental pun sudah dikenal dan dikembangkan dalam dunia ilmu pengetahuan di masa jayanya perkembangan islam.

 

4.      Filsafat islam dan pendidikan

Pendidikan adalah urusan manusia (dalam arti manusia dewasa) untuk memanusiakan (manusia yang belum dewasa) manusia (dewasa). Pengertian dewasa biasa diartikan sebagai mampu melaksanakan fungsi dan tugas hidupnya secara bertanggung jawab. (Zuhairini, dkk, 2004:120)

Dalam Al Quran ditegaskan bahwa Allah adalah Rabbal ‘alamin dan juga Rabbal Nas, artinya bahwa Allah adalah pendidik bagi alam semesta dan juga pendidik bagi manusia. Pengertian tersebut diambil karena kata Rabb dalam arti Tuhan dan Rabb dalam arti pendidik berasal dari akar kata yang sama. (Omar Mohammad,1979: 41). Dengan demikian menurut Al Quran tersebut bahwa alam dan manusia mempunyai sifat tumbuh dan berkembang dan yang mengatur pertumbuhan dan perkembangan tersebut tidak lain adalah Allah jua.

Jadi mendidik dan pendidikan pada hekaketnya adalah fungsi Tuhan, dan mendidik adalah mengatur serta mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan alam dan manusia sekaligus. Kenapa kenyataannya bahwa pendidikan dan mendidik itu menjadi urusan manusia? Dalam pandangan filsafat islam, sebagaimana ditegaskan dalam Al Quran, bahwa pada hakikatnya manusia adalah “Khalifah Allah di alam semesta ini” (Quran, surat 2 (AlBaqarah):30; Surat 6 (Al Anam): 165). Khalifah berarti kuasa atau wakil. Dalam statusnya sebagai khalifah ini, berarti manusia hidup di alam mendapat kuasa dari peran dan fungsi Allah di alam. Diantara tugas kekhalifahan, adalah mengembangkan potensi pembawaan tersebut di alam, dalam kehidupan nyata.

Jadi pendidikan dalam filsafat islam, berarti mengembangkan potensi manusiawi menurut pengaruh hukum-hukum Allah, baik Al Quran maupun Sunatullah. Dan hal ini akan menghasilkan kebudayaan yang terus menerus berkembang.

 

C.      FILSAFAT PENDIDIKAN

1.      Pendidikan

Istilah pendidikan, dalam bahasa Inggris “education”, berakar dari bahasa Latin “educare” yang dapat diartikan pembimbingan berkelanjutan (to lead forth). Jika diperluas arti etimologis itu mencerminkan keberadaan pendidikan yang berlangsung dari generasi ke generasi sepanjang eksistensi kehidupan manusia. Suparlan Suhartono, 2009:77). Dalam arti khusus, Langeveld (Uyoh Sadulloh, 2011: 54) mengemukakan bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Pendidikan dalam arti luas merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya, yang berlangsung sepanjang hayat. (Uyoh Sadulloh, 2011:55). Menurut Handerson (dalam Uyoh sadulloh, 2011:55), pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir.

Dari pengertian-pengertian pendidikan diatas ada beberapa prinsip dasar tentang pendidikan yang akan dilaksanakan, yaitu: 1) pendidikan berlangsung seumur hidup, 2) tanggung jawab pendidikan merupakan tanggung jawab bersama semua manusia, 3) bagi manusia pendidikan merupakan suatu keharusan, karena dengan pendidikan manusia akan memiliki kemamapuan dan kepribadian yang berkembang, yang disebut manusia seluruhnya (Handerson, 1959, dalam Uyoh Sadulloh, 2011:56).

2.      Tujuan Pendidikan

Plato (Sukardjo dan Ukim Komarudin, 2009: 14) mengatakan tujaun pendidikan sesungguhnya adalah penyadaran terhadap self knowing dan self realization kemudian inquiry dn reasoning and logic. Menurut Dewey (Sukardjo dan Ukim Komarudin, 2009: 14) tukuan pendidikan ialah mengembangkan seluruh poteni yang dimiliki oleh peserta didik sehingga dapat berfungsi secara individual dan berfungsi sebgai anggota masyarakat melalui penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang bersifat aktif, ilmiah dan memasyarakat serta berdasarkan kehidupan nyata yang dapat  mengembankan jiwa, pengetahuan, rasa tanggung jawab, ketrampilan, kemauan, dan kehalusan budi pekerti.

Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 disebutkan bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

 

3.      Hubungan Filsafat, Manusia, dan Pendidikan

a.       Pandangan filsafat tentang Hakikat Manusia

Filsafat berpendapat bahwa hakikat manusia itu berkaitan antara badan dan ruh. Islam secara tegas mengatakan bahwa badan dan ruh adalah substansi alam, sedangkan alam adalah makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini dijelaskan bahwa proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam material. Menurut Islam, manusia terdiri dari substansi materi dari bumi dan ruh yang berasal dari Tuhan. Oleh karena itu hakekat manusia adalah ruh sedangkan jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh semata. Tanpa kedua sunstansi tersebut tidak dapat dikatakan manusia. (Jalaluddin dan Adullah Idi,2007: 130-131) Memang keberadaan manusia di muka bumi adalah suatu yang menarik. Selain manusia selalu menjadi pokok permasalahan, ia juga dapat melihat bahwa segala peristiwa dan masalah apa pun yang terjadi di dunia ini pada akhirnya berhubungan dengan manusia. Oleh karena itu, dalam usaha mempelajari hakikat manusia diperlukan pemikiran yang filosofis. Karena setiap manusia akan berpikir tentang dirinya sendiri. Meskipun tingkat pemikirannya itu akan selalu mempunyai perbedaan. (Nawawi, 1993 dalam Jalaluddin dan Adullah Idi, 2007: 131-132) Hal itu didasarkan pada pemikiran bahwa selain sebgai subjek pendidikan, manusia juga merupakan objek pendidikan itu sendiri.

 

b.   Pandangan filsafat tentang pendidikan

Cara kerja dan hasil filsafat dapat dipergunakan untuk memecahan masalah hidup dan kehidupan manusia, di mana pendidikan merupakan salah satu aspek dari kehidupan tersebut, karena hanya manusialah yang dapat melaksanakan pendidikan. Oleh karena itu pendidikan membutuhkan filsafat. Mengapa pendidikan membutuhkan filsafat? Karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut  pelaksanaan pendidikan, yang hanya terbatas pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah-masalah yang lebih luas, lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak terbatasi oleh pengalman maupun fakta-fakta pendidikan yang faktual, tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh sains pendidikan. (Sadulloh Uyoh, 2007: 58)

Hubungan filsafat dengan pendidikan dapat kita ketahui, bahwa filsafat akan menalaah suatu realitas dengan lebih luas, sesuai dengan cirri berpikir filsafat, yaitu radikal, sistematis, dan universal. Konsep tenatng dunia dan pandangan tenatng tuuan hidup tersebut akan menjadi landasan dalam menyusun tujuan pendidikan.

Brubacher (1950) dalam Sadulloh Uyoh (2007:71),mengemukkan tentang hubungan antara filsafat dengan pendidikan dalam hal ini filsafat pendidikan: bahwa filsafat tidak hanya melahirkan sains atau penegtahuan baru, melainkan juga melahirkan filsafat pendidikan. Bahkan John Dewey berpandangan bahwa filsafat merupakan teori umum bagi pendidikan.

 

 

D.     Filsafat Pendidikan Islam

1.      Pengertian Filsafat Pendidikan Islam

Berbagai ahli mencoba merumuskan pengertian filsafat pendidikan Islam, Muzayyin Arifin, misalnya mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berfikir tentang hakikat kemampuan manusia untuk dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Definisi ini memberi kesan bahwa filsafat pendidikan Islam sama dengan filsafat pendidikan pada umumnya. Dalam arti bahwa filsafat Islam mengkaji tentang berbagai masalah manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, kurikulum, metode, lingkungan, guru, dan sebagainya.

Perbedaan Filsafat Pendidikan Islam dengan Filsafat Pendidikan pada umumnya adalah bahwa di dalam filsafat pendidikan Islam, semua masalah kependidikan tersebut selalu didasarkan pada ajaran Islam yang bersumberkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan kata lain bahwa kata Islam yang mengiringi kata falsafat pendidikan ini menjadi sifat, yakni sifat dari filsafat pendidikan tersebut. Dalam hubungan ini Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa filsafat pendidikan Islam bukanlah filsafat pendidikan tanpa batas. Selanjutnya ketika ia mengomentari kata ‘radikal’ yang menjadi salah satu ciri berpikir filsafat mengatakan bahwa pandangan ini keliru. Radikal bukan berarti tanpa batas. Tidak ada di dunia ini disebut tanpa batas, dan bukankah dengan menyatakan bahwa seorang muslim yang telah menyalini isi keimannanya, akan mengetahui dimana batas-batas pikiran (akal) dapat dipergunakan, dan jika ia berfikir, berfilsafat mensyukuri nikmat Allah, berarti ia radikal (konsekuen) dalam batas-batas itu. Menurut Ahmad D Marimba, inilah sifat radikal dari filsafat Islam.

 

 

 

2.      Hakikat dan Tujuan Falsafah Pendidikan Islam

Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung kontinyu/berkesinambungan, berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai hayatnya. Secara umum tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap sampai ke titik kemampuan optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar. Secara garis besarnya pengertian itu mencakup tiga aspek, yaitu: (1) Seperangkat teknik atau cara untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan tingkah laku, (2) Seperangkat teori yang maksudnya untuk menjelaskan dan membenarkan penggunaan teknik dan cara-cara tersebut, (3) seperangkat nilai, gagasan atau cita-cita sebagai tujuan yang dijelmakan serta dinyatakan dalam pengetahuan, keterampilan dan tingkah laku, termasuk jumlah dan pola latihan yang harus diberikan.

Dasar dan tujuan filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya identik dengan dasar dan tujuan ajaran Islam atau tepatnya tujuan Islam itu sendiri. Dari kedua sumber ini kemudian timbul pemikiran-pemikiran mengenai masalah-masalah keislaman dalam berbagai aspek, termasuk filsafat pendidikan. Lebih lengkap kongres se-Dunia ke II tantang pendidikan Islam tahun 1980 di Islamabad, merumuskan bahwa: Tujuan pendidikan Islam adalah untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dan seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (inteletual), diri manusia yang rasional; perasaan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya menacakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spritual, intelektual, ianajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik secara individual maupun kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun seluruh umat manusia.

 

3.      Urgensi Bangunan Filsafat Pendidikan Islam

Para ahli telah menyoroti dunia pendidikan yang berkembang saat ini, baik dalam pendidikan Islam pada khususnya maupun pendidikan pada umumnya, bahwa pelaksanaan pendidikan tersebut kurang bertolak dari atau belum dibangun oleh landasan filosofis yang kokoh, sehingga berimplikasi pada kekaburan dan ketidakjelasan arah dan jalannya pelaksanaan pendidikan itu sendiri. Kegelisahan yang dihadapai oleh Abdurrahman misalnya, yang dikutip dari Muhaimin, mengemukakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama Islam selama ini berjalan melalui cara dialektis metodis seperti halnya pengejaran umum, dan lebih didasarkan pada basis pedagogis umum yang berasal dari filsafat penelitian model Barat, sehingga lebih menekankan pada “transisi pengetahuan agama”. Untuk menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu rumusan filsafat pendidikan Islam yang kokoh.

Para ahli di bidang pendidikan telah meneliti secara teoritis mengenai kegunaan filsafat Islam. Misalnya Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibany yang dikutip oleh Abudin Nata, mengemukakan tiga manfaat dari mempelajari filsafat pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut; a) Filsafat pendidikan dapat menolong para perancang pendidikan dan orang-orang yang melakukannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses pendidikan, b) Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh, dan c) Filsafat pendidikan Islam akan mendorong dalam memberikan pendalaman pikiran bagi faktor-faktor spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik di negara kita.

Berdasarkan pada kutipan di atas timbul kesan bahwa kegunaan dan fungsi filsafat pendidikan Islam ternyata amat strategis. Ia setidaknya menjadi acuan dalam memecahkan berbagai persoalan dalam pendidikan. Filsafat akan membantu mencari akar dari setiap permasalahan pendidikan. Dengan berdasarkan pada filsafat pendidikan ini setiap masalah pendidikan akan dapat dipecahkan secara komprehensip, integrated, dan tidak partial, tambang sulam atau sepotong-potong. Membangun Tradisi Keilmuan Pendidikan Islam

Jika kita perhatikan masa kejayaan Islam, tentunya hal yang menarik kita perhatikan adalah tradisi keilmuan masyarakat Islam pada waktu itu.


Kesadaran akan ilmu dan kecintaan akan ilmu sangat tinggi, tradisi yang berkembang pada waktu itu adalah tradisi membaca, menulis, berdiskusi, keterbukaan/kebebasan berfikir, penelitian serta pengabdian mereka akan keilmuan yang meraka kuasai. Tradisi itu terlihat dari; kecintaan mereka akan buku-buku yang hal itu dibarengi dengan adanya perpustakaan-perpustakaan baik atas nama pribadi yang diperuntukkan kepada khalayak umum atau yang disponsori oleh khalifah, para ulama biasanya open hause bagi siapa aja yang mau datang kerumahnya untuk membaca, kedudukan meraka juga dimata masyarakat sangat mulia. Sedemikian cintanya masyarakat akan ilmu sampai-sampai khalifah pada waktu itu untuk merebut hati masyarakat harus memberi perhatian kepada pengembangan ilmu. Kebebasan berpikir yang tinggi memicu tradisi berdiskusi dan berdebat, meraka menjadikan perpustakaan dan masjid sebagai tempat bertemu untuk berdiskusi. kebutuhan untuk berkarya, sehingga kemandekan pemikiran bisa diatasi.

Tradisi keilmuan ini juga telah berkembang di tradisi keilmuan barat; motivasi mereka sangat tinggi untuk mencari ilmu, tradisi membaca dan berdiskusi tinggi, tradisi meneliti yang tinggi, keterbukaan berfikir dan kebutuhan untuk berkarya juga sangat tinggi. Teknologi dan informasi kebanyakan dikuasai oleh barat, banyak temuan dan peraih nobel pengetahuan bukan dari kalangan Islam. Inilah menurut penulis kemajuan barat dan Islam abbasiyah dalam hal ilmu pengetahuan yang perlu kita kembangkan dalam rangka kemajuan dibidang pendidikan Islam. Inilah yang harus kita lakukan untuk mengejar ketertinggalan. Kita harus membangun tradisi keilmuan yang kondusif dalam lingkungan masyarakat akademis. Menciptakan tradisi membaca, tradisi menulis, berdiskusi, meneliti, keberanian untuk berfikir kreatif dan terbangunnya kebutuhan akan berprestasi dan berkarya.

Bagi lembaga sekolah dan pendidik harus mampu memberikan kebijakan dalam rangka membentuk tradisi intelektul (membaca, menulis, meneliti dan berdikusi serta berkarya) di kampus atau disekolah, misalnya dengan mengadakan lomba karya tulis ilmiah, lomba penelitian, lomba debat, memberikan motivasi untuk membaca, menggunakan metode dan media yang bisa mengembangkan daya pikir, kreatifitas, membuat program-program lainya untuk pengembangan diri dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar.

Bagi orang tua membantu menciptakan suasana akademis dirumah, dengan mengarahkan meraka untuk belajar dan selalu memotivasi meraka untuk maju. Orang tua juga berkewajiban mengawasi prilaku anak didik, orang tua juga harus mengetahui program sekolah, sehingga kegiatan sekolah terbantu oleh orang tua ketika mereka berada diluar sekolah. Antara sekolah (lembaga Pendidikan Islam), guru (pendidik) dan orang tua anak didik harus saling komunikasi; Sekolah mengetahui kebutuhan masyarakat dan masyarakat mengetahui kebutuhan sekolah, mengetahui problem anak didik dan sebagainya. Hal ini memungkinan untuk mengetahui dan selanjutnya membicarkan problem-prolem pendidikan yang sedang terjadi, sehingga ditemukan solusi yang tepat untuk berbagai pihak. Pengembangan tradisi-tradisi keintelektualan seperti diatas harus dikembangkan mulai dari pendidikan dasar. Jika tradisi tersebut tidak dikembangkan dari pendidkan dasar, maka pendidik akan kesulitan menciptakan tradisi keilmuan untuk mereka, sehingga penciptaan tradisi itu selalu terlambat untuk diterapkan.

Learning Society; Upaya Memberdayakan Pendidikan Masyarakat.


Keprihatinan bangsa ini yang dilanda krisis multidimensi dalam berbagai aspek kehidupan menuntut peran pendidikan Islam sebagai benteng sekaligus mencetak generasi penerus untuk memperbaiki kondisi yang ada. Menjadi sangat wajar jika beban dari krisis ini seluruhnya dibebankan kepada pendidikan. Baiknya suatu bangsa bisa dilihat dari baiknya pendidikannya, majunya suatu bangsa juga dipengaruhi dari pendidikannya.

Persepsi masyarakat terhadap sekolah mewakili kondisi yang ada dalam masyarakat/negara. Kenyataan ini, misalnya, telah pula mendapat perhatian para filosof sejak zaman Plato dan Aristoteles, sebagaimana diungkapkan bahwa ‘as is the state, so is the school’ (sebagaimana negara, seperti itulah sekolah), atau ‘what you want in the state, you put into school’ (apa yang anda inginkan dalam negara, harus anda masukkan dalam sekolah). Hal ini menunjukan, bahwa keberhasilan dari proses pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh pihak sekolah saja, tetapi peran keluarga dan masyarakat juga berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan.


Berangkat dari hal inilah maka perlu diperhatikan lingkungan di luar sekolah, baik secara formal maupun non formal, bahkan informasi sekaligus. Harus ada upaya menciptakan lingkungan yang kondusif, yang mampu mengembangkan potensi masyarakat guna mewujudkan tujuan pendidikan yang disepakati bersama. Pengembangan pendidikan di Indonesia, hendaknya dilihat sebagai suatu proses kelangsungan peradaban bangsa, maka faktor-faktor psiko sosial budaya perlu diikutsertakan dalam merancang pendidikan, dan perlu diciptakan situasi yang kondusif dalam pembelajaran. Tranformasi sosial psikologis dan budaya adalah suatu keniscayaan yang dihadapai bangsa ini, tetapi hal itu bisa dikendalaikan, khususnya dalam sektor pendidikan. Transformasi ini memunculkan tatanan baru dalam masyarakat, untuk itu perlu pendekatan sejenis sosial and culture enginering yang mampu mengendalikan perubahan dan pergeseran ke arah yang diinginkan.Dalam upaya menciptakan situasi kondusif bagi keberhasilan belajar hanya dapat terjadi bila seluruh masyarakat kita menuju masyarakat learning society. Artinya, proses mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 hendaknya diselenggarakan melalui tiga jalur institusi pendidikan, yaitu; a) lingkungan atau jalur sekolah dan jalur luar sekolah, b) dilaksanakan oleh berbagi pihak termasuk kerjasama masyarakat dengan pemerintah, c) merupakan kegiatan yang tidak terputus-putus hingga dapat disebut sebagai pendidikan seumur hidup (life long education).

 

 

E.      Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)

1.      Pengertian IPS

a.       Ilmu social (social sciences)

Terjemahan social sciences dalam bahasa Indonesia, juga berkecenderungan dua yaitu diterjemahkan ilmu social dan ilmu-ilmu social. Deobold B. Van Dalen (Nursid Sumaatmadja, 1980: 7) mengemukakan bahwa ilmu-ilmu sosial mempelajari tingkah laku manusia di masyarakat itu banyak aspeknya, seperti aspek ekonomi, aspek sikap mental, aspek budaya, aspek hubungan social, dan lain-lain sebagainya. Ilmu sosial adalah bidang-bidang keilmuan yang mempelajari manusia di masyarakat.

 

b.      Studi Sosial (Social Studies)

Berbeda dengan ilmu sosial, studi sosial bukan merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih meruapakan suatu bidang pengakajian tentang gejala dan masalah sosial. Dalam kerangka kerja pengkajiannya, studi social ini menggunakan bidang bidang keilmuan yang termasuk ilmu sosial.

Studi social tidak terallu akademis teoritis. Tetapi merupakan pengetahuan praktis yang dapat diajarkan mulai dari tingkat tinggi. Pendekatan pada studi social bersifat interdisipliner atau multidispliner dengan menggunakan berbagai bidang keilmuan. Sedangkan pendekatan ilmu sosial lebih bersifat multidimensional dalam meninjau suatu gejala atau masalah sosial dari berbagai dimensi ( segi, sudut, aspek) kehidupan.

Tugas studi sosial sebagai suatu bidang mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yaitu membina warga masyarakat yang mampu menyerasikan berdasarkan kekuatan-kekuatan fisik dan sosial, dan mampu memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Jadi, materi maupun metode penyajiannya harus sesuai dengan misis yang diembannya. (Nursid:1980: 8-9).

 

c.       ILmu Pengetahuan Sosial (IPS)

IPS bukan ilmu sosial. Pengajaran IPS tidak hanya terbatas di perguruan tinggi, melainkan diajarkan mulai dari tingkat sekolah dasar. Pengajaran IPS yang telah dilaksanakan sampai saat ini, baik pendidikan dasar maupaun pendidikan tinggi,  tidak menekankan kepada aspek teorits keilmuannya, melainkan lebih ditekankan kepada segi praktis mempelajari, menelaah mengkaji gejala dan masalah sosial, yang tentu saja bobotnya sesuai dengan jenjang pendidikan masing-masing.

Di Amerika Di sebut sosial studies, di Indonesia kita kenal dengan istiliah IPS. Hakekat IPS adalah mempelajari bidang kehidupan manusia di masyarakat, mempelajari gejala dan masalah sosial yang menjadi bagian dari kehidupan tersebut. Secara mendasar IPS berkenaan dengan kehidupan manusia yang melibatkan segala tingkah laku dan kebutuhannya. IPS berkenaan dengan cara manusia menggunakan usaha memenuhi kebutuhan materinya, memenuhi kebutuhan budayanya, kebutuhan kejiwaannya, pemanfaatan sumber daya yang ada di permukaan bumi, mengatur kesejahteraan dan pemerintahannya, dan lain-lain sebagainya yang mengatur serta mempertahankan kehidupan masyarakat manusia.

 

2.      Ruang lingkup IPS

Ruang lingkup IPS adalah manusia pada konteks sosialnya atau manusia sebagai anggota msyarakat. Mengingat sumber dan materi IPS manusia dalam konteks sosial itu demikian luasnya, maka pengajaran IPS di tiap jenjang pendidikan kita harus melakukan pembatasan-pembatasan sesuai dengan kemampuan siswa pada tingkat masing-masing.

Ruang lingkup IPS di tingkat sekolah dasar dibatasi sampai gejala dan masalah sosial yang dapat dijangkau pada geografi dan sejarah. Terutama gejala dan masalah sosial kehidupan sehari-hari yang ada pada lingkungan hidup murid-murid SD tersebut. Di sekolah tingkat lanjutan ruang lingkup dan bobotnya diperluas kepada masalah teknologi pada berbagai sektor kehidupan, transporstasi, komunikasi, pengangguran, kelaparan, sumber daya, dan lain-lain sebagainya.

Radius  ruang lingup penelaahan IPS di perguruan tinggi telah berkembang lebih jauh lagi. Pada kesempatan ini pendekatan, metode pendekatan interdispliner atau multidispliner dan pendekatan sistem harus benar-benar diperhatikan. (Nursid, 1980: 11-12)

 

F.      Kontribusi filsafat pendidikan islam dan ips

1.      Filsafat pendidikan islam dan ips

Pola dan sistem berpikir filosofis dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan, manusia, dan alam sekitar di atas, menjadi objek pemikiran filsafat pendidikan islam. Oleh karena filsafat pendidikan islam mempunyai sasaran pembahasan tentang hakekat permasalahan pendidikan yang bersumberkan ajaran islam maka pola dan sistem berpikir serta ruang lingkup permasalahan yang dibahas pun harus bertitik tolak dari pandangan Islam. Pandangan islam adalah prinsip-pronsip yang telah diletakkan oleh Allah dan Rasulnya dalam kitab suci Al Quran dan Al hadist yang dikembangkan oleh para mujahid dari waktu ke waktu.

Adapun pola dan sistem pemikiran filosofis kependidikan yang berdimensi mikro adalah yang menyangkut proses pendidikan yang meliputi tiga faktor, yaitu: a) Pendidik, 2) Anak didik, 3) Alat-alat pendidikan, baik yang bersifat material maupun nonmaterial. (Muzayyin Arifin, 2012:8-9)

Dengan demikian akan tampak jelas bahwa hasil pemikiran filsafat tenatng pendidikan islam itu merupakan mattern of mind (pola piker) dari pemikir-pemikir yang bernapaskan islam atau berkepribadian muslim.

Filsafat pendidikan yang membahas permasalahan pendidikan islam tidak berarti membatasi diri pada permasalahan yang ada di dalam ruang lingkup kehidupan beragama umat islam semata-mata, melainkan juga menjangkau permasalahan yang luas yang berkaitan dengan pendidikan bagi umat islam.

Dengan demikian, semua permasalahan yang menyangkut kehidupan umat manusia yang berpengaruh terhadap kehidupan umat manusia juga termasuk pemikiran filsafat pendidikan islam. Misalnya masalah pendidikan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, masalah perubahan social, masalah kependudukan, masalah demoralisasi, dan sebagainya.

Akan tetapi, semua permasalahan yang bukan agamis (nonreligius) yang menyangkut masalah sosial dan ilmu pengetahuan serta teknologi itu dianalisis secara mendalam, sehingga diperoleh hakikatnya, dari segi pandangan islam karena filsafat bertugas pokok mencari hakikat dari segala sesuatu. Dari hakikat itulah timbul pemikiran yang teoritis yang pada gilirannya menimbulkan pemikiran tentang strategi dan taktik atau operasionalisasi kependidikan islam. Dari sinilah timbul pemikiran tentang cara yang tepat untuk melaksanakan ide-ide kependidikan islam yang dituangkan ke dalam apa yang disebut “Sistem Pendidikan Islam”.

 

 

2.      Dimensi kajian filsafat pendidikan islam dalam ips

a.       Ontologi : hakikat apa yang dikaji, penyelidikan prin­sip-prinsip realita.

 Menurut Syam (1988) ontologi kadang-ka­dang disamakan dengan metafisika. Sebelum menyelidiki yang lain, manusia berusaha mengerti hakikat sesuatu. Dalam berinteraksi dengan alam semesta, manusia melahirkan berbagai pertanyaan  filosofis, di antaranya; apakah sesungguhnya hakikat realita yang ada ini, apakah realita yang nampak ini suatu realitas materi saja, ataukah ada sesuatu dibalik realita itu, satu "rahasia" alam. Apakah wujud semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan. Ataukah hakikat semesta ini adalah perubahan semata-mata. Apakah realita ini terbentuk satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme), ataukah lebih dari dua unsur (pluralisme).

Suatu realita sebagai suatu perwujudan, menampakkan di­ri sebagai satu "tubuh", satu eksistensi. Sesuatu itu mendukung satu perwujudan, yakni-keseluruhan sifatnya. Yang utama dari perwujudan itu adalah eksistensinya. Wujud atau adanya sesuatu itu adalah primer, sedangkan sifat-sifat yang lain seperti ukurannya, bentuknya, warnanya, beratnya dan sebagainya hanyalah sekunder.

Sebagai contoh, apakah sesungguhnya hakikat lantai dalam ruang belajar. Ada yang menjawab bahwa lantai itu bersi­fat datar, padat tetapi halus dengan warna tertentu. Apakah bahannya, pastilah lantai itu suatu substansi dengan kuali­tas materi. Inilah yang dimaksud bahwa lantai adalah suatu realitas yang kongkrit. Para ahli ilmu alam menjawab, bahwa lantai itu terbentuk dari molekul-molekul, yang terak­hir atom-atom dan atom-atom tersebut terbentuk dari elec­tron-elektron, proton-proton dan neutron-neutron dan semua itu tenaga listrik. Jadi lantai itu hakikatnya satu energi, tenaga listrik. Jadi hakikat lantai menurut orang biasa adalah realita dalam wujud lantai yang konkrit, sementara ahli ilmu alam memandang hakikat lantai dari sudut pengertiannya (abstrak) yaitu tenaga listrik, energy, namun keduanya bersi­fat realita.

Pandangan ontologi di atas juga menjadi hal utama dalam pendidikan IPS, sebab anak didik/peserta didik bergaul de­ngan dunia lingkungannya dan mempunyai dorongan kuat untuk mengerti sesuatu. Peserta didik, baik di masyarakat maupun di sekolah selalu menghadapi realita, obyek pengalaman: benda mati, benda hidup. Bagaimana pandangan relegius mengenai makhluk hidup yang berakhir dengan kematian, bagaimana kehi­dupan dan kematian itu dapat dimengerti. Begitu pula reali­tas semesta, eksistensi manusia yang memiliki jasmani dan rohani, bahkan bagaimana sebenarnya eksistensi Tuhan Maha Pen­cipta. Tujuan utama dari IPS ialah bagaimana siswa diajari untuk dapat membuat keputusan dan tindakan yang rasional. Untuk dapat membuat keputusan yang rasional maka ia harus memiliki ketrampilan intelektual yang tinggi, hal ini digunakan untuk menjawab pertanyaan dan persoalan baik yang datangnya dari individu atau masyarakat. Dalam berpikir rasional peserta didik harus berdasarkan pada ajaran agama.

Bukanlan kewajiban sekolah atau pendidik semata untuk  membimbing peserta didik memahami dunia nyata, tetapi sekolah berkewajiban membina peserta didik  tentang kebenaran yang berpangkal pada realita itu. Realita adalah sebagai ta­hapan pertama dan stimulus untuk menyelami kebenaran. Peserta didik didik wajib dibina potensi berpikir kritisnya guna mengerti kebenaran. Mereka harus mampu mengerti perubahan-perubahan dalam lingkungannya ; adat-istiadat, tata sosial dan pola-pola masyarakat, nilai moral dan hukum. Disini IPS memegang peranan penting, setiap perubahan lingkungan yang terjadi selalu berhubungan dnegan aktivitas dan perilkau manusia.

Dengan demikian, implikasi pandangan ontologi dalam dunia pendidikan Islam dalam hubungannya dengan IPS adalah bahwa dunia pengalaman manusia, terma­suk peserta didik yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya dalam raga dan isinya dalam arti pengalaman sehari-hari, melainkan sebagai sesuatu yang tak terbatas, realitas fisik, spritual yang tetap dan yang berubah-ubah (dinamis).

 

b.      Epistemologi

Epistimologi: Cara mendapatkan/hakikat pengetahuan, penyelidikan prinsip-prinsip ilmu pengetahuan. Sejauh ini dunia pendidikan dianggap sebagai pro­ses penyerahan kebudayaan umumnya, khususnya ilmu pengetahuan. Apakah sesungguhnya ilmu itu, dari mana sumbernya, bagaimana proses terjadinya dan sebagainya merupakan bidang garapan epistemologi. Jadi epistemologi suatu cabang filsafat yang membahas sumber, proses, syarat, batas, validitas dan haki­kat pengetahuan. Epistemologi memberikan kepercayaan dan ja­minan kepada pendidik bahwa ia memberikan kebenaran kepada peserta didik.

Sebagai contoh, perkataan "tahu" yang mengandung pe­ngertian-pengertian berbeda-beda, baik sumbernya maupun va­liditasnya :

1. Kau tak dapat menipu saya. Saya "tahu" siapa penipu dan siapa bukan penipu;

2.   Tentu saya "tahu" ia menangis, karena saya melihatnya

3.   Percayalah, saya "tahu" apa yang saya bicarakan, bukankah konstitusi kita menyatakan demikian ;

4.    Kami "tahu" bahwa jabatan itu safe, karena baru saja kami melewatinya dengan aman.

Masing-masing pernyataan di atas menyatakan wujud atau keadaan "tahu". Masing-masing contoh berdasarkan cara tahu dan alasan-alasan tahun yang berbeda. Contoh nomor (1) tahu  berdasarkan pertimbangan yang bersifat pribadi. Apa yang di­lihat dan ditafsirkannya sebagai penipu/tindak kriminil, mungkin sama-sekali tidak dimengerti oleh orang lain. Contoh nomor (2) tahu yang bersumber dari data observasi langsung. Ia percaya dan tahu apa yang ia sadari itu benar adanya, sebab kesadaran panca indranya menghayati realita demikian. Contoh nomor (3) tahu berdasarkan atas status/wewenang siapa yang menyatakan, juga sumber yang berwujud dokumen (undang-undang), tak mengharuskan adanya observasi langsung. Contoh nomor pada (4) tahu adalah/diperoleh dari produk pengalaman-pengalaman yang teruji seluruh penghayatan, bukan hanya kesan indra saja.

Dalam pembelajaran IPS, siswa membutuhkan pengetahuan tentang hal-hal dunia luar yang luas dan juga tentang dunia lingkungannya yang sempit. Siswa perlu memahami hal-hal berkaitan dengan individunya, lingkungannya, masa lalu, masa kini dan masa datang. Pengetahuan-pengetahuan yang terspesialisasikan atau disiplin ilmu tidak dapat kita pungkiri kegunananya, namun hal ini tidaklah ckup untuk memahami secara komprehensif fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Untuk itu diperlukan kajian filsafat pendidikan islam yang bertolak pada alquran dan hadis dan pemikiran-pemikiran manusia.

 

c.       Aksiologi

Aksiologi : Nilai kegunaan ilmu, penyelidikan tentang prinsip-prinsip nilai. Brameld dalam Syam (1988) membagi ni­lai dalam aksiologi menjadi : 1). Moral conduct, tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu Ethika, 2). Esthetic expression, ekspresi keindahan, yang melahirkan Esthetika, dan 3). Socio-polical life, kehidupan sosio-politik, Yang melahirkan ilmu filsofat sosio-politik.

Masalah-masalah aksiologi di atas menjelaskan dengan keriteria atau prinsip tertentu, apakah yang dianggap baik di dalam tingkah laku manusia itu, apakah yang dimaksud in­dah dalam seni dan apakah yang benar dan diinginkan dalam organisasi social kemasyarakatan-kenegaraan.

Implikasi aksiologi dalam pembelajaran IPS adalah menguji dan mengintegrasikan nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan membinakannya dalam kepribadian anak didik. Memang un­tuk menjelaskan apakah yang baik itu, benar, buruk dan jahat bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi, baik, benar, indah dan buruk, dalam arti mendalam dimaksudkan untuk membina kepribadian ideal anak, jelas merupakan tugas utama pendidikan.

Pendidikan harus memberikan pemahaman/pengertian baik, benar, bagus, buruk dan sejenisnya kepada peserta didik secara komprehensif dalam arti dilihat dari segi etika, estetika dan nilai sosial. Dalam masyarakat, nilai-nilai itu terintegrasi dan saling berinteraksi. Nilai-nilai di dalam rumah tangga/keluarga, tetangga, kota, negara adalah nilai-nilai yang tak mungkin diabaikan dunia pendidikan bahkan sebalik­nya harus mendapat perhatian.

 

 

 

 

Pembelajaran nilai dalam ips

Istilah nilai di kenal dengan kata “value” atau velere yang artinya baik atau kuat atau berharga. Pengertian berharga adlah memiliki manfat bgi dirinya maupun lingkungannya, dengan demikian perbuatannya akan selalu memberikan kebaikan bagi kehidupan sebagai warga masyarakat. Pendidikn nilai dan pendidikan moral kesamaa, perbedaanya hanya bersifat gradual dimana pendidikan nilai lebih bersifat konseptual sedangkan pendidikan moral lebih bersifat operasional.

Implikasi daripertimabngan teoritk tersebut, maka dapat memperkuat pandangan bahwa pendidikan nilai dan moral sangatlah penting, dan merupakan misi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Lebih penting bagi pencapaian tujuan kewarganegaraan. Khusus kaitanya dengan strategi pembelajaran kini telah dikembangakan berbagai model pembelajaran nilai dan moral. Dikembnagkan atas dasar keunikan dan tujuan dari pendidikan nilai, yang menyentuh aspek afektif, yang perlu dilakoni dan pembiasaaan dari para pelajar. Dengan demikian dapat dibedakan dengan pembelajaran  IPS yang berorientasi apda nilai dengan pembelajaran mata peljaraan lainnya yang lebih menenkankan kepada pengetahuan. Hal ini akan Nampak pada pemilihan materi pembelajaran, pemilihan metode dan media serta peran peserta didik dan guru termasuk system evaluasinya.

Pendidikan nlai bertujuan untuk membantu peserta didik menumbuhkan dan memperkuat siste nilai yang dipilih dan dmilikinya untuk dijadikan dasar penampilan perilaku dalam kehidupan bermasayarakat. (suwarma,, 2000:256) Suwarma menambhakan Disampig itu pendidikan nilai menenkankan pada pengembangan kemmapuan bersikap yang memilki keunggulan untuk mengtasi kelemahan pembelajaran yang lebih mennekankan aspek pengetahuan dari sikap dan ketrampilan social.

 

 

 

 

III

PENUTUP

 

 

A.     KESIMPULAN

Filsafat pendidikan islam sebagai bagian atau komponen dari suatu sistem, ia memegang dan mempunyai peranan penting pada pembelajaran ips dimana ia merupakan bagiannya. Sebagai cabang ilmu pengetahuan, maka ia berperan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal ini IPS. Dengan demikian filsafat pendidikan islam berperan mengembangkan filsafat islam, dan memperkaya IPS dengan konsep-konsep dan pandangan filosofis dalam bidang IPS.

Dalam prakteknya filsafat pendidikan islam banyak berperan dalam memberikan alternatif-alternatif pemecahan berbagai macam problem yang dihadapi oleh ips. Dan memberikan pengarahan terahdap perkembangan pendidikan ips.

1.      Pertama, filsafat pendidikan am menunjukkan problema yang dihadapi oleh IPS sebagai hasil dari pemikiran yang mendalam, dan berusaha untuk memahami permasalahannya. Dengan analisa filsafat islam, bisa menunjukkan alternatif-alternatif pemecahan masalah tersebut. Setelah melalui proses selektif mana yang paling afektif, maka dilaksanakan alternatif tsresbut dalam praktek pendidikan ips.

2.      Kedua, filsafat pendidikan islam memberikan pandangan tertentu tentang manusia sebagai makhluk bermasyarakat. Pandangan tentang hakikat manusia tersebut berkaitan dengan tujuan hidup manusia dan sekaligus juga merupakan tujuan pendidikan ips.

3.      Ketiga, filsafat pendidikan islam dengan analisanya terhadap hakikat hidup dan kehidupan manusia, berkesimpulan bahwa manusia mempunyai potensi pembawaan yang harus ditumbuhkan dan diperkembangkan.

 

 

 

B.     Saran

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) memerankan peranan yang signifikan dalam mengarahakan dan membimbing anak didik pada nilai-nilai dan perilaku yang demokratis memahami dirinya dalam konteks kehidupan masa kini, memahami tanggung jawabnya sebagian bagian dari masyarakat global yang interdependen. Hal ini sudah menjadi tanggung jawab program IPS untuk mempersiapkan anak didik untuk mengenali, memahami dan berkarya memecahkan masalah-masalah yang sudah menjadi  bagian dari bangsa dan masyarakat dunia lainnya. Untuk menanggulangi masalah-masalah tersebut diatas maka dipandang sangat perlu mengajarkan kepada anak didik pendidikan agama sebagai akar dari ilmu pengetahuan terutama IPS.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

 

Ahmadi, Abu. (2003). Ilmu Sosial Dasar: Mata kuliah Dasar Umum. Jakarta: Rineka Cipta

 

Al Mu Chtar Suwarma. Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS. Bandung: UPI Press

 

ALQURAN

 

Anshari, E.S. (1981). Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina Ilmu.

 

Arifin, Muzayyin, (2012). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

 

Bunyamin Maftuh, Ridwan Effendi, Sapriya. (2009). Pengembangan Pendidikan IPS SD. Jakarta: dirjen dikti

 

Ihsan, Fuad H.A. (2010). Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta

 

Jalaluddin dan Abdullah Idi. (2007). Filsafat Pendidikan. Manusia, Filsafat, dan            Pendidikan. Yogyakarta: Ar Ruz media

 

John, Dewey. Democracy and Education, new York the free press 1966

 

Juun S. S. (2003. Filsafat IImu Sebuah Pengantar Popular. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

 

Kencana, Inu Syafiie. (2004). Pengantar filsafat. Bandung: Refika Aditama

 

Nata, Abidin. (2009). Ilmu Pendiikan Islam. Dengan Pendekatan Multidisipliner. Jakarta: Rajawali Pers.

 

Sadulloh, Uyoh. (2007). Filsafat Pendidikan. Bandung:  Cipta Utama

 

Sadulloh, Uyoh. (2011). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabetaria

 

Omar Muhammad al Touny al Syaibany. (1979). Falsafah Pendidikan Islam, terjemahan Hasan Langgalung. Jakarta: Bulan Bintang

 

Sapriya. 2009. Pendidikan IPS: Konsep dan Pembelajaran. Bandung: Rosda

 

Sirajudin. (2004). Filsafat Islam. Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada

 

Suhartono, Suparlan. (2006). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar Ruz media

 

Sumaatmadja, Nursid. (1980). Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Bandung: Alumni

 

Surajiyo. (2005). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Cet ke1. Jakarta: Bumi Aksara

 

Tafsir, Ahmad. (2010). Filsafat Umum. Akal dan Hati Thales sampai James. Pengantar Kepada Filsafat untuk Mahasiswa Perguruan Tinggi Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya

 

Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Ilmu. Akal dan Hati Thales Sampai James. Pengantar Kepada Filsafat untuk Mahasiswa IAIN dan Perguruan Tinggi Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya

 

The Liang gie. (1996). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty

 

Wiramihardja, Sutarjo. (2009). Pengantar Filsafat. Sistematika dan Sejarah Filsafat Ilmu (Epistemology) Metafisika dan Filsafat Manusia Aksiologi. Bandung: Refika Aditama

 

Zuhairini, dkk. (2008). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara

Tidak ada komentar:

Posting Komentar