Filsafat Pendidikan Islam
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia
mengembangkan pengetahuannya mengatasi kebutuhan kelangsungan hidup ini. Dia
memikirkan hal-hal baru, menjelajah ufuk baru, karena dia hidup tidak sekedar
untuk kelangsungan hidup, namun lebih dari itu. Manusia mengembangkan
kebudayaan, manusia memberi makna pada kehidupan, manusia memanusiakan diri
dalam hidupnya, semua itu pada hakekatnya menyimpulkan bahwa manusia itu dalam
hidupnya mempunyai tujan tertentu yang lebih tinggi dari sekedar kelangsunagn
hidupnya. Inilah yang menyebabkan manusia mengembangkan pengetahuannnya.
Pengetahuan inilah yang mendorong manusia menjadi makhluk yang bersifat khas di
muka bumi ini. (Jujun S.S, 1982:40)
Pengetahuan ini
mampu dikembangkan manusia disebabkan dua hal utama yakni manusia mempunyai bahasa
yang mampu mengkomunikasikan informasi dan jalan pikiran yang melatarbelakangi
informasi tersebut dan kemampuan berpikir menurut suatu alur kerangka berpikir
tertentu. Menurut Sirajuddin (2004:1,2) ada dua bentuk pengetahuan, yaitu
pengetahuan yang bukan berdasarkan hasil usaha aktif dari manusia dan
pengetahuan yang berdasarkan hasil usaha aktif manusia. Pengetahuan pertama
diproleh melalui wahyu, sedangkan pengetahuan kedua diperoleh melalui indra dan
akal. Pengetahuan dalam bentuk kedua ini ada yang disebut dengan pengetahuan
indra, pengetahuan ilmu (sains) dan pengetahuan filsafat. Pengetahuan indra adalah pengetahuan yang
diperoleh berdasarkan pengalaman sehari-hari seperti api panas, air membasahi,
dan lain-lain. Sementara itu ilmu adalah pengetahuan yang diperoleh melalui
penyelidikan atau penelitan dengan menggunakan pendekatan ilmiah, seperti
meneliti kenapa api panas dan apa unsur-unsur yang terdapat dalam api.
Sementara itu pengetahuan filsafat merupakan hasil proses berpikir dalam
mencari hakekat sesuatu sampai ke dasar segala dasar atau sedalam-dalamnya.
Filsafat seringkali disebut oleh sejumlah
pakar sebagai induk semang dari ilmu-ilmu. Filsafat merupakan disiplin ilmu
yang berusaha untuk menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan
manusia secara tepat dan lebih memadai. Filsafat telah mengantarkan pada sebuah
fenomena adanya siklus pengetahuan sehingga membentuk sebuah konfigurasi dengan
menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang
secara subur sebagai sebuah fenomena kemanusiaan. Masing-masing cabang pada
tahap selanjutnya melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri
dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Perkembangan ilmu
pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru dengan
berbagai disiplin yang akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru
kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti
spesialisasi-spesialisasi. Ilmu pengetahuan hakekatnya dapat dilihat sebagai
suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari
ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan dengan
patokan-patokan serta tolok ukur yang mendasari kebenaran masing-masing bidang.
Pokok permasalahan yang dikaji
filsafat pada dasarnya mencakup tiga segi, yaitu apa yang disebut benar dan apa
yang disebut salah (epistemologi), mana yang dianggap baik dan mana yang
dianggap buruk (etika), serta apa yang termasuk indah dan yang termasuk jelek
(estetika). Kemudian cabang filsafat bertambah dua lagi yaitu filsafat
keberadaan benda, dan filsafat politik. Lima cabang filsafat tersebut
selanjutnya berkembang lagi menjadi sebelas, salah satu di antaranya adalah
filsafat pendidikan. . Filsafat pendidikan bertujuan untuk mencari hakekat pendidikan,
yaitu hal yang esensial di bidang pendidikan. Filsafat pendidikan pada dasarnya
adalah rekonstruksi filsafat, ide, dan metode yang berjalan serempak. Filsafat
pendidikan mencakup kebutuhan khusus rekonstruksi pendidikan pada saat ini dan
rekonstruksi ide dasar darisistem filsafat tradisional. Hal ini menjadi penting
karena perubahan dalam kehidupan sosial menyertai perkembangan ilmu, revolusi
industri, dan perkembangan demografi.
Filsafat pendidikan menentukan arah
tujuan pendidikan, termasuk kurikulum, metode pembelajaran, dan metode evaluasi
yang mencakup aspek kognitif, psikomotorik dan afektif. Oleh karena itu, para
perencana pendidikan, termasuk pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, harus
menetapkan tentang arah tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Kemudian untuk
mencapai tujuan ini, dikembangkan sistem pendidikan termasuk sistem
persekolahan beserta kelengkapannya.
Filsafat agama islam
sebagai salah satu cabang filsafat merupakan perpaduan antara agama dan
filsafat, antara akidah dan hikmah, antara wahyu dan akal. Filsafat islam
merupakan hasil pemikran umat isalm secara keseluruhan. Pemikiran umat islam
ini merupakan buah dari dorongan ajaran Al Quran dan Al Hadis. Karena
pendidikan menduduki posisi penting dalam kehidupan manusia, maka wajarlah
muslim meletakkan Al Quran dan Al Hadis,
dan akal sebagai dasar-dasar teori –teori pendidikan.
Agama Islam adalah agama yang
universal, yang mengajarkan kepada umat manusia mengenai berbagai aspek
kehidupan, baik duniawi maupu ukhrawi. Salah satu aajran Islam adalah
mewajibkan kepada umat manusia untuk melaksanakan pendidikan. Karena menurut
ajaran Islam pendidikan adalah juga merupakan kebutuhan hidup manusia yang
mutlak harus dipenuhi, demi untuk
mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan dunia dan akhirat. Dengan pendidikan itu pula manusia akan
mendapatkan berbagai macam ilmu pengetahuan untuk bekal dan kehidupannya. Dalam
dunia filsafat, filsafat pendidikan merupakan bentuk filsafat khusus, yaitu
bagian atau cabanga dari filsafat islam yang mengkhususkan obyek dan sasaran
pembahasannya dalam bidang pendidikan. Kalau filsafat islam, sebgaimana halnya
dengan filsafat pada umumnya mempunyai obyek yang luas, yaitu yang meliputi
alam semesta, alam manusia dan yang dibalik alam, maka filsafat pendidikan
islam sebagai bagian dari cabangnya membatasi obyek dan sasaran pembahasannya
pada alam manusia yaitu mnegenai hakikatnya, perihidup dan kehidupannya.
Ilmu Pengetahuan Sosial pada hakikatnya mempelajari bidang kehidupan
manusia di masyarakat, mempelajari gejala dan masalah social yang menjadi
bagian dari kehidupan manusia. Ilmu Pengetahuan Sosial yang dalam bahasa
Inggris disebut social studies adalah fusi dari beberapa ilmu sosial
yang sangat diperlukan untuk memahami persoalan social dan memecahkan masalah
sosial yang berkembang dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat menumbuhkan
kepedulian, kepekaan dan kearifan sosial. Ilmu Pengetahuan Sosial merupakan
perwujudan dari suatu pendekatan interdisiplin (interdiciplinary approach)
dari pelajaran ilmu-ilmu sosial (social sciences). Ia merupakan
integrasi dari berbagai cabang ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi,
budaya, psikologi sosial, sejarah, geografi, ekonomi, politik dan sebagainya. Ilmu
pengetahuan Sosial berusaha mengintegrasikan materi dari cabang-cabang ilmu
sosial dengan menampilkan permasalahan sehari-hari masyarakat sekitar. Ruang
lingkup Ilmu Pengetahuan Sosial adalah manusia sebagai anggota masyarakat. Oleh
karena itu, segala gejala, masalah, dan peristiwa tentang kehidupan manusia di
masyarakat, dapat dijadikan sumber dan materi IPS. Dalam mengkaji materi-materi
dalam Ilmu Pengetahuan social tidak terlepasa dari filsafat pendidikan islam,
karena pada dasarnya manusia bertindak berdasarkan ajaran agama yang dianutnya.
Berdasarkan latar belakang masalah
tersebut diatas, maka penulis ingin mengkaji tentang kontribusi filsafat
pendidikan islam dalam memperkaya ilmu pengetahuan social.
B. Rumusan Masalah
Dari judul diatas, maka penulis dapat
merumuskan beberapa masalah dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1.
Dimanakah Kedudukan
Filsafat dalam Ilmu pengetahuan Sosial?
2. Bagaimana Peranan filsafat islam dalam
ilmu pengetahuan social?
3. Bagaimanakah kontibusi filsafat
pendidikan isalm dalam ilmu pengetahuan social?
C. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dari penulisan
makalah ini, adalah :
1.
Mengetahui Kedudukan Filsafat dalam Ilmu
pengetahuan Sosial.
2.
Mengetahui Peranan
filsafat islam dalam ilmu pengetahuan social.
3.
Mengetahui kontibusi filsafat pendidikan isalm dalam
ilmu pengetahuan social.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN FILSAFAT
1.
Arti istilah dan rumusan filsafat
Pengertian filsafat, dalam sejarah
perkembangan pemikiran kefilsafatan, antara satu ahli filsafat dan ahli
filsafat lainnya selalu berbeda, dan hampir sama banyaknya dengan ahli filsafat
itu sendiri. Pengertian filsafat dapat ditinjau dari dua segi, yakni secara etimologi
dan secara terminologi. (Surajiyo, 2005:1)
a. Filsafat secara etimologi
Menurut
Poedjawijatna (1974) dalam Tafsir Ahmad (1990: 8) menyatakan bahwa
kata filsafat dari kata Arab yang
berhubungan erat dengan kata Yunani, bahkan asalnya memang dari kata Yunani. Kata Yunaninya ialah philosophia. Dalam bahasa Yunani, kata philosophia merupakan kata majemuk yang
terdiri atas Philo dan Sophia; philo artinya cinta dalam arti yang luas, yaitu ingin, dan arena
itu lalu berusaha untuk mencapai yang diinginkannya itu; sophia artinya kebijaksanaan yang artinya pandai, pengertian yang
mendalam. Jadi menurut namanya saja filsafat boleh diartikan ingin mencapai
pandai, cinta pada kebijakan. Poedjawijatna (1974: 11) dalam Tafsir Ahmad
(1990: 9) mendefinisikan filsafat sebagai sejenis pengetahuan yang berusaha
mencari sebab yang sealam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan pikiran
belaka.
b. Filsafat secara Terminologi
Secara
terminology adalah arti yang dikandung oleh istilah filsafat. Dikarenakan
batsan dari filsafat itu banyak maka sebagai gambaran perlu diperkenalkan
beberapa batasan.
1)
Plato
Plato
berpendapat bahwa filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai
pengetahuan tenatng kebenaran yang asli.
2)
Aristoteles
Menurut
Aristoteles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang meliputi kebenaran yang di
dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik filsafat keindahan).
3)
Al farby
Filsuf
Arab ini mengatakan bahwa filsafat adalah ilmu (pengtahuan) tentang hakekat
bagaimana alam maujud yang sebenarnya.
4)
Rene Descartes
Menurt
Descartes, filsafat adalah kumpulan semua pegetahuan dimana Tuhan, alam, dan
manusia menjadi pokok penyelidikan.
5)
Immanuel Kant
Menurtu
Kant, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang menjadi pangkal dari semua
pengetahuan yang didalamnya tercakup masalah epistemologi (filsafat
pengetahuan) yang menjawab persoalan apa yang dapat kita ketahui.
6)
Langeveld
Maha guru
Rijks-Universiteit Utrecht ini
berpendapat bahwa filsafat adalah berpikir tentang masalah-masalah yang
akhir dan yang menentukan, yaitu masalah-masalah mengenai makna keadaan, Tuhan,
keabadian, dan kebebasan.
2.
Obyek studi dan metode filsafat
Objek adalah sesuatu yang merupakan bahan dari suatu penelitian
ataiu pembentukan pengetahuan. Setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai objek,
yang dibedakan menjadi dua, yaitu objek material dan objek formal. (Surajiyo,
2005: 5)
a. Objek material filsafat
Objek material adalah suatu bahan yang menjadi
tinajuan penelitian atau pembentukan pgetahuan itu. Objek material juga adalah
hal yang diselidiki, dipandang, atau disorot oleh suatu displin ilmu. Objek
material mencakup apa saja, baik hal-hal konkret ataupun yang abstrak.
(Sugiyono, 2005: 5).
H. A. Dardiri (Sugiyono, 2005:6) berpendapat
bahwa objek material filsafat adalah segala sesuatu yang ada baik dalam pikiran, ada dalam
kenyataan maupun ada dalam kemungkinan. Kemudian apakah gerangan segala sesutau
yang ada itu? Segala sesuatu yang ada
dapat dibagi dua, yaitu: 1) ada tentang hal ada pada umunya disebut
ontologi. Adapun ada yang bersifat khusus dibagi dua, yaitu ada yang mutlak dan
ada yang tidak mutlak. Ilmu yang menyelidiki tentang ada yang bersifat mutlak
disebut theodicea. Ada yang tidak mutlak dibagi lagi menjadi dua yaitu alam dan
manusia. Ilmu yang menyelidiki alam disebut kosmologi dan ilmu yang menyelidiki
manusia disebut antropologi metafisik.
b. Objek Formal filsafat
Objek formal adalah pusat perhtian yang biasa
disebut focus of interst, yang karena setiap displin ilmu mempunyai objek
formal yang khas, mka membuat setiap ilmu itu berbeda adlah objek formalnya. (Inu
Kencana Syafiie, 2004: 4).
Objek formal ilmu filsafat adalah kebenaran,
kebaikan dan keindahan secara berdialektika. (Inu Kencana Syafiie, 2004: 4).
Kalau dalam ilmu-ilmu lain objek materialnya membatasi diri, sedangkan pada
filsafat tidak membatasi diri. Adapun pada objek foormalnya membahas objek
materialnya itu sampai ke hakikat atau esensi dari yang dihadapinya. (Surajiyo,
2005: 7).
3. Metode filsafat
Kata metode berasal dari kata Yunani methodos, sambungan kata
depan meta (menuju, melalui, mengikuit, sesudah) dan kata benda hodos (jalan,
perjalanan, cara arah). Kata metedhodos sendiri berarti penelitian, metode
ilmiah, hipotesis ilmiah, ukuran ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut system
aturan tertentu. Anton Bakker (1984) dalam Surajiyo (2005: 7-8).
Lantaran banyakanya metode filsafat, Runes dalam Dictionary of Philosophy sebagaimana
dikutip oleh Anton Bakker dalam Surajiyo (2005: 8,9) menguraiakan, sepanjang
sejarah filsafat telah dikembangkan sejumlah metode filsafat yang berbeda
dengan cukup jelas. Yang plaing penting dapat disusun menurut garis historis,
sedikitnya ada 10 metode, yaitu sebgai berikut:
1. Metode kritis: Socrates, Plato
2. Metode Intuitif: Plotinus, Bergson
3. Metode Skolastik: Aristoteles, Thomas Aquinas, Filsafat Abad
pertengahan
4. Metode Geometris: Rene Descarte dan pengikutnya
5. Metode empiris: Hobbes, Locke, Barkeley, David Hume
6. Metode Transedental: Immanuel Kant, Neo-skolastik
7. Metode Fenomenologis: Husserl, Eksistensialisme
8. Metode Dialektis: Hegel, Marx
9. Metode Neo-Positvistis
10.
Metode Analitika Bahasa: Wttgenstein.
4. Bidang kajian filsafat: Ontologi, Epistomologi, dan Aksiologi
a. Ontologi
Cabang utama metafisika adalah ontologi, studi
mengenai kategorisasi benda-benda di alam dan hubungan antara satu dan lainnya.
Ahli metafisika juga berupaya memperjelas pemikiran-pemikiran manusia mengenai
dunia, termasuk keberadaan, kebendaan, sifat, ruang, waktu, hubungan sebab
akibat, dan kemungkinan.
Ontologi merupakan salah satu kajian
kefilsafatan yang paling kuno dan berasal dari Yunani. Studi tersebut membahas
keberadaan sesuatu yang bersifat konkret. Tokoh Yunani yang memiliki pandangan
yang bersifat ontologis ialah seperti Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada
masanya, kebanyakan orang belum membedakan antara penampakan dengan kenyataan.
Dan pendekatan ontologi dalam filsafat mencullah beberapa paham, yaitu: (1)
Paham monoisme yang terpecah menjadi idealisme atau spiritualisme; (2)
Paham dualisme, dan (3) pluralisme dengan berbagai nuansanya, merupakan paham
ontologik.
Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian
keilmuan yang bisa dipikirkan manusia secara rasional dan yang bisa diamati
melalui panca indera manusia. Wilayah ontologi ilmu terbatas pada jangkauan
pengetahuan ilmiah manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam
batas prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pascapengalaman (seperti
surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar iimu.
Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalisme, empirisme.
b. Epistemologi
Epistemologi merupakan cabang filsafat yang
menyelidiki asal, sifat, metode dan batasan pengetahuan manusia (a branch of
philosophy that investigates the origin, nature, methods and limits of human
knowledge). Epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of
knowledge). berasal dari kata Yunani episteme, yang berarti
“pengetahuan”, “pengetahuan yang benar”, “pengetahuan ilmiah”, dan logos= teori.
Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal
mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitas) pengetahuan.
Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah:
1) Apakah pengetahuan itu ?; 2) Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu? ;
3) Darimana pengetahuan itu dapat diperoleh?; 4) Bagaimanakah validitas
pengetahuan itu dapat dinilai ?; 5) Apa perbedaan antara pengetahuan a
priori (pengetahuan pra-pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan
puma pengalaman) ?; 6) Apa perbedaan di antara: kepercayaan, pengetahuan, pendapat,
fakta, kenyataan, kesalahan, bayangan, gagasan, kebenaran, kebolehjadian,
kepastian ?
Langkah dalam epistemologi ilmu antara lain
berpikir deduktif dan induk-tif. Berpikir deduktif memberikan sifat
yang rasional kepada pengetahuan ilmiah dan bersifat konsisten dengan
pengetahuan yang telah dikumpulkan sebelumnya. Secara sistematik dan kumulatif
pengetahuan ilnuah disusun setahap demi setahap dengan menyusun argumentasi
mengenai sesuatu yang baru berdasarkan pengetahuan yang telah ada. Secara
konsisten dan koheren maka ilmu mencoba memberikan penjelasan yang rasional
kepada objek yang berada dalam fokus penelaahan.
c. Aksiologi
Aksiologi berasal dari kata axios yakni
dari bahasa Yunani yang berarti nilai dan logos yang berarti teori.
Dengan demikian maka aksiologi adalah “teori tentang nilai” (Amsal Bakhtiar,
2004: 162). Aksiologi diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh (Jujun S. Suriasumantri, 2000: 105).
Menurut Bramel dalam Anshari,
E.S. (1981: 163) aksiologi terbagi dalam tiga bagian: Pertama,
moral conduct, yaitu tindakan moral yang melahirkan etika; Kedua,-
esthetic expression, yaitu ekspresi keindahan, Ketiga, sosio-political
life, yaitu kehidupan sosial politik, yang akan melahirkan filsafat sosio-politik.
Dalam Encyclopedia of Philosophy dijelaskan
bahwa aksiologi disamakan dengan value dan valuation. Ada tiga
bentuk value dan valuation, yaitu: 1) Nilai, sebagai suatu kata
benda abstrak; 2) Nilai sebagai kata benda konkret; 3) Nilai juga digunakan
sebagai kata kerja dalam ekspresi menilai.
Aksiologi dipahami sebagai teori nilai dalam
perkembangannya melahirkan sebuah polemik tentang kebebasan pengetahuan
terhadap nilai atau yang bisa disebut sebagai netralitas pengetahuan (value
free). Sebaliknya, ada jenis pengetahuan yang didasarkan pada keterikatan
nilai atau yang lebih dikenal sebagai value bound. Sekarang mana yang
lebih unggul antara netralitas pengetahuan dan pengetahuan yang
didasarkan pada keterikatan nilai.
Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar
epistemologi raja: Jika hitam katakan hitam, jika ternyata putih katakan
putih; tanpa berpihak kepada siapapun juga selain kepada kebenaran yang nyata.
Sedangkan secara ontologi dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai antara
yang baik dan yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia menentukan
sikap (Jujun S. Suriasumantri, 2000:36).
Sikap inilah yang mengendalikan kekuasaan ilmu-ilmu yang besar.
Sebuah keniscayaan, bahwa seorang ilmuwan harus mempunyai landasan moral yang
kuat. Jika ilmuan tidak dilandasi oleh landasan moral, maka peristiwa
terjadilah kembali yang dipertontonkan secara spektakuler yang mengakibatkan
terciptanya “Momok kemanusiaan” yang dilakukan oleh Frankenstein (Jujun S.
Suriasumantri, 2000:36). Nilai-nilai yang juga harus melekat pada ilmuan,
sebagaimana juga dicirikan sebagai manusia modern: (1) Nilai teori: manusia
modern dalam kaitannya dengan nilai teori dicirikan oleh cara berpikir
rasional, orientasinya pada ilmu dan teknologi, serta terbuka terhadap ide-ide
dan pengalaman baru. (2) Nilai sosial : dalam kaitannya dengan nilai
sosial, manusia modem dicirikan oleh sikap individualistik, menghargai
profesionalisasi, menghargai prestasi, bersikap positif terhadap keluarga
kecil, dan menghargai hak-hak asasi perempuan; (3) nilai ekonomi : dalam
kaitannya dengan nilai ekonomi, manusia modem dicirikan oleh tingkat
produktivitas yang tinggi, efisien menghargai waktu, terorganisasikan dalam
kehidupannya, dan penuh perhitungan; (4) Nilai pengambilan keputusan: manusia
modern dalam kaitannya dengan nilai ini dicirikan oleh sikap demokratis dalam
kehidupannya bermasyarakat, dan keputusan yang diambil berdasarkan pada
pertimbangan pribadi; (5) Nilai agama: dalam hubungannya dengan nilai agama,
manusia modem dicirikan oleh sikapnya yang tidak fatalistik, analitis sebagai
lawan dari legalitas, penalaran sebagai lawan dari sikap mistis
5. Cabang-cabang filsafat
Filsafat secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua kelompok,
yakni filsafat sistematis dan sejarah filsafat. Filsafat sitematis bertujuan
dalam pembentukan dan pemberian landasan pemikiran filsafat. Didalamnya
meliputi logika, metodologi, epistemologi, filsafat (teologi), filsafat
manusia, dan kelompok filsafat khusus seperti filsafat sejarah, filsafat hukum,
filsafat komunikasi, dan lain-lain. Adapun sejarah filsafat adalah bagian yang
berusaha meninjau pemikiran filsafat di sepanjang masa. Sejak zaman kuno hingga
zaman modern. Bagian ini meliputi sejarah filsafat Yunani (Barat), India, Cina
dan sejarah filsafat Islam.
Louis
O. Kattsoff menyebutkan bahwa cabang filsafat adalah logika, metodologi,
metafisika, epistemology, filsafat biologi, filsafat psikologi, filsafat
antropologi, filsafat sosiologi, etika estetika (Surajiyo (2005: 19)
6. Jalinan Ilmu, filsafat dan agama.
Filsafat dan ilmu
Ilmu adalah pengetahuan. Tetapi ada berbagai
pengetahuan. Dengan “pengetahuan ilmu” dimaksud pengetahuan yang pasti, eksak
dan betul-betul terorganisasi. Jadi penegtahuan yang berasaskan kenyataan dan
tersusun baik. Ilmu (Latin : Scientia) mengandung tiga kategori isi: hipotesis,
teori, dan dalil hukum. Ilmu haruslah sistematis dan berdasarkan metodologi dan
ia berusaha mencpai generalisasi.
Ilmu penegetahuan itu hasil usaha pemahaman manusia
yang disusun dalam satu sistem mengenai kenyataan, struktur, pembagian,
bagian-bagian dan hokum-hukum tentang hal-ihwal yang diselidikinaya (alam,
manusia, dan juga agama) yang dibsejauh yang dapat dijangkau daya pemikiran
manusia ag dibantu penginderaannya, yang kebenrannya diuji secara empiris,
riset dan eksperimental. Sedangkan filsafat ialah “ilmu istimewa” yang mencoba
menjawab masalah-masalah yang tidak dapat di jawab oleh pengetahuan biasa,
karena masalah-masalah termaksud di luar atau di atas jangkauan ilmu pengetahuan
biasa. ( Anshari, 1981: 157)
Baik ilmu ataupun filsafat sama-sama mencari
pengetahuan dan pengetahuan yang dicari itu ialah pengetahuan yang benar. Dalam
segi ini maksud keduanya sama. Tetapi dalam persamaan itu ada perbedaan.
Pengetahuan ilmumelukiskan, sedangkan pengetahuan filsafat menafsirkan.
Ilmu menggali pengetahuan dari fakta-fakta dan
merumuskan penegtahuan itu dalam bentuk teori atau hukum. Karen pengetahuan itu
sesuai dengan faktanya, maka pengetahuan yang digali dan yang dinyatakannya itu
adalah benar.
Bukan saja ilmu, tapi filsafat juga mencari
pengetahuan yang pasti, eksak, teratur, dan tersusun. Tetapi kepastian dan
keeksaann pengetahuan filsafat tidak mungkin diuji seperti pengetahuan ilmu.
Ilmu tersusun dari hasil riset dan eksperimen. Filsafat hasil dari berpikir
radikal, sistematis, dan universal. Kebenaran ilmu sepanjang pengalaman,
kebenaran filsafat sepanjang pemikiran.
Ilmu mencari pengetahuan dari segi-segi
tertentu, bidang-bidang khusus. Sedangkan filsafat mencari pengetahuan dari semua
segi dan bidang menyeluruh. Ilmu dapat kita bagi dua: ilmu murni (pure
science), yang bersifat teori; dan ilmu terapan (applied sience), yang bersifat
praktik.
Ilmu terapan adalah lanjutan dari ilmu teori.
Dalam kehidupan sehari-hari umumnya kita tertarik pada hal-hal yang praktis.
Untuk itu kita bertanya kepada ilmu terapan. Tetapi kadang-kadang timbul
pertanyaan dalam hati kita apa makna, apa guna, tujuan dan nilai tindakan itu;
apa makna, tujuan, guna dan nilai hidup kita dan dunia kita. Ketika itu kita
bertanya pada filsafat. (H.A. Fuad Ihsan, 2010:57-66)
Hubungan filsafat dan ilmu menurt pandangan
kaum filsuf terbagai dua:
a.
Hubungan erat antara keduanya. Perkembangan
ilmu harus bersama-sama degan filsafat, bahkan ada yang menyamakan filsafat dengan
ilmu.
b.
Filsafat tidak berkaitan dengan ilmu. Ia
otonom dan tidak mau diperalat.
Filsafat dan agama
Untuk membahas hubungan filsafat dengan agama dan perananya terhadap
agama, harus diselesaikan terlebih dahulu pengertian agama. Apa itu Agama? Apabila
kita kaji etimologinya, kata agama membawa kita kepada bahasa Sansekerta. Akar
kata a-gam-a ialah gam, yang berarti pergi atau berjalan. Sansekerta adalah
bahasa Indo Jerman. Dalam bahasa Belanda, dan Inggris (kedua-duanya juga
bahasa-bahasa Indo Jerman), kita temukan kata “ga” (Belanda =gam, dan Inggris
=go) yang serumpun dengan gam dan berarti sama. Dengan ditambah awalan a dan
akhiran a, gam menjadi agama, yang berarti jalan. Jalan kemana? Dalam agama
Hindu, tentu jalan ke Nirwana. Kata jalan dengan makna yang sama kita temukan
pula dalam pristilahan Islam: syariat, thariqah, shiratahal mustaqim (jalan
lurus). Kata agama dalam Bahasa Indonesia kabur dan kacau pegertiannya. Umumnya
ia diekuivalenkan orang dengan religi (religion) kata religi sebagai istilah
ilmu telah tertentu artinya (Fuad Ihsan, 2010:73-74).
Ada dua kategori agama (Randall dan Buchler,
1942, dalam Uyoh Sadulloh, 2011:49): 1) agama budaya (yang disebut oleh
kepustakaan Barat dengan nama religion), 2) agama langit (disebut oleh
kepustakaan tersebut dengan revealed religion). Agama budayalah yang lahir dalam kebudayaan.
Kalau agama ini tumbuh dibumi, adalah agama langit diturunkan dari langit. Yang
pertama dibentuk oleh filsafat masyarakat (tentu dirumuskan olef filsuf
masyarakat itu, apakah ia sebagai pemimpin masyarakat (tentu dirumuskan oleh
filsuf masyarakat itu, apakah ia sebagai pemimpin masyarakat atau penganjur
agama). Sedangkan yang kedua di bentuk oleh wahyu Tuhan.
Inti soal agama dan sasaran utamanya ialah
alam gaib. Alam gaib bukanlah lapangan ilmu, yang dengan riset dan
eksperimennya menghimpun fakta. Dari alam Gaib tidak mungkin digali fakta.
Kalau mungkin, ia bukan gaib, tapi alam nyata. Soal agama adalah soal hati.
Budi disni hanyalah pelengakap. Dalam agama budaya, budi itu bahkan diabaikan
atau diperbudak oleh hati, dan mengontrolnya agar jangan tergelinsir kepada
khayalan dan dongeng dalam mengartikan, memahami dan mengamalkan agama itu.
Karena tidak ada fakta yang akan dipegangi
budi, diandalkannyalah kerja atas tenaganya sendiri, yaitu logika. Dan ketika
budi itu mempergunakan sifat-sifat sistematis, radikal dan universal dalam
berpikirnya, maka budi itu telah memasuki filsafat dalam mengartikan,
menafsirkan, menjelaskan, mengulas agama. Filsafat itu, karena dikaitkan dengan
agama, menjadi filsafat agama.
Untuk dapat termakan oleh akal, agama dapat meminta pada filsafat
untuk menerangkan, mengulas, menafsirkannya pada budi. Persamaan lain antara
filsafat dan agama ialah masing-masing merupakan sumber nilai, terutama
nilai-nilai etika. Perbedaannya lagi dalam hal ini, nilai-nilai etika filsafat
merupakan produk akal, sedangkan nilai-nilai agama dipercayai sebagai
ditentukan oleh Tuhan. Nilai-nilai etika filsafat berubah-ubah menurut ruang
dan waktu, seirama dengan prubahan cara berpikir dan merasa manusia. Ia nisbi sekali.
Sedangkan nilai-nilai etika agama (agama
langit) mengatasi ruang dan waktu, abadi, bahkan mengatasi peralihan dunia
kepada akhirat. Ia mutlak, karena berasal dari Yang Mutlak pula. Dan pembalasan
laku perbuatan etika menurut agama itu adalah pasti (Fuad Ihsan, 2010: 75-82).
B. FILSAFAT ISLAM
Arti istilah definisi filsafat Islam
Perkembangan filsafat dalam dunia islam, nampak
nyata setelah umat islam bangsa Arab pada masa itu berkomunikasi dengan dunia
sekitarnya, berhubungan dengan peradaban dan kebudayaan bangsa-bangsa yang
didudukinya serta menerima pengaruh daripadanya. Perkembangan filsafat tersebut
dipercepat oleh kaum muslimin dengan adanya usaha penerjemahan berbagai macam
buku ilmu pengetahuan, terutama fisafat Yunani ke dalam bahasa Arab. Namun
demikian, bukan berarti bahwa pemikiran-pemikiran filososis belum dikenal oleh
umat islam sebelum itu. Sebelum masuknya istilah filsafat dan filosof dalam dunia
islam, umat islam telah mengenal istilah “Al Hikmah” dan usaha untuk mencari al
hikmah, yang mempunyai pengertian dasar yang sama dengan filsafat. (Zuhairini,
dkk, 2008: 107)
Jadi yang disebut dengan filsafat islam adalah
perkembangan pemikiran umat islam dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia,
dan alam semesta yang disinari ajaran Islam. Adapun definisnya secara khusus
sebagai berikut (Sirajuddin, 2004: 15)
1. Ibrahim Madkur. Filsafat islam adalah pemikiran yang lahir dalam
dunia islam untuk menjawab tantangan zaman, yang meliputi Allah dan alam
semesta, wahyu, dan akal, agama dan filsafat.
2. Ahmad Fu’ad Al Ahwaniy, filsafat islam adalah pembahasan tentang
alam dan manusia yang disinari ajaran Islam
3. Muhammad ‘Athif raqy, filsafat islam secara umum di dalamnya
tercakup ilmu kalam, ilmu ushul fiqih, ilmu tasawuf dan ilmu pengetahuan
lainnya yang diciptakan oleh intelektual Islam. Pengertiannya secara khusus,
ialah pokok-pokok atau dasar-dasar pemikiran filosofis yang dikemukakan para
filosof muslim.
Perlu diingat bahwa filsafat islam adalah filsafat yang bermuatan
religious (keagamaan) namun tidak mengabaikan persoalan-persoalan kefilsafatan.
Jadi, pengakuan tenatng adanya filsafat islam harus dilihat dari ajaran pokok
agamanya. Karena pada hakekatnya jika tidak ada ilham Al Quran sebagai sumber
dorongan, filsafat dalam dunia islam dalam arti yang sebenarnya tidak akan
pernah ada.
Pandangan islam tentang filsafat
Menurut Dr. Ahmad Fuad Al Ahwani (Zuhairini, dkk, 1991:65)
menyatakan dalam kitabnya “Ma’anil Falsafah”, bahwa filsafat itu adalah sesuatu
yang terletak di antara agama dan ilmu pengetahuan. Ia menyerupai agama pada
satu sisi karena ia mengandung permasalahan-permasalahan yang tidak dapat
diketahui dan dipahami sebelum orang beroleh keyakinan dan ia mneyerupai ilmu
pengetahuan di sisi lain karena ia merupakan sesuatu hasil daripada akal
pikiran manusia, tidak hanya sekedar mendasarkan kepada taklid dan wahyu
semata-mata. Dimana ilmu merupakan hasil-hasil pengertian yang terjangkau dan
terbatas, agama dengan keyakinannya dapat melangkahi/melampaui garis-garis pengertian
yang terbatas itu.
Ada beberapa ulama yang terutama tergolong salaf, tidak menyukai
dan tidak sependapat adanya filsafat dalam islam, bahkan menganggapnya bid’ah
yang dapat menyesatkan, namun banyak pula ulama islam yang menganggap sangat
penting adanya filsafat, karena sangat membantu dalam menjelaskan isi kandungan
Al Quran dengan keterangan-keterangan yang dapat diterima oleh akal manusia
terutama mereka yang baru mengenal islam dengan ajarannya dan mereka yang belum
kuat imannya. Imam gazali yang semula menentang filsafat, kemudian berbalik
mempelajarinya dan banyak menggunakannya untuk uraian-uraiannya mengenai ilmu
tasawuf. Ulama-ulama ini menganggap besar faedahnya mempelajari filsafat dan
berpendapat bahwa dalam Alquran banyak sekali ayat-ayat yang menyuruh manusia
berpikir mengenai dirinya dan mengenai sarwa alam untuk meyakini adanya Tuhan
sebagai penciptanya. (Zuhairini,dkk, 2008:67-68).
Tampak jelas dari uraian-uraian diatas bahwa isalm tidak mencegah orang mempelajari/mendalami
filsafat, bahkan menganjurkan orang berfilsafat, berpikir menurut logika untuk
memperkuat kebenaran yang dibawa Al Quran dengan dalil akal dan pembahasan
rasional. Aspek pemikiran kepercayaan dalam isalm terutama dalam masalah
keimanan, aqidah, ketuhanan, menunjukkan pembahasan yang cukup lama telah
semasa Nabi masih hidup, yang kemudian menjadi sebab pokok dari ilmu-ilmu yang
berbeda-beda, sebagaimana kalam (dogmatic scholastic), dan tasawuf (mystic-spiritualistic).
Diskusi dan polemic keagamaan antara ulama muslam dengan tokoh agama non muslim
mulai telah memperkenalkan elemen-elemen asing dari filsafat Yunani, India dan
sebagainya. Tersebab itu bermuncullah tokoh-tokoh di kalangan isalm, dengan
nama-nama besar seperti Al kindi, Al farabi, ibnu sina, ibnu Rusyd dan
lain-lain. Banyaknya terjemahan buku-buku asing terutama buku-buku filsafat
Yunani lebih banyak menguak bukti pentingnya filsafat dalam kancah keilmuan
isalm. (zuhairin, dkk, 2008: 69-70)
3. Pemikiran filsafat islam dalam perkembangan ilmu pengetahuan
Perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia islam pada masa jayanya,
tidak lepas dari pengaruh filsafat yunani dan pemikiran-pemikiran tentang alam
yang sudah ada sebelumnya. Sebagaimana diketahui bahwa filsafat adalah induk
ilmu pengetahuan, telah berkembang dan bercabang-cabang menurut obyeknya
masing-masing.
Dalam segi metodologi ilmiah ternyata bahwa ahli-ahli ilmu pengetahuan
dan filosof dari kalangan muslimin, adalah merupkan perintis-perintisnya. Pola
berpikir rasional dalam dunia ilmu pengetahuan, berasal dari filosof-filosof
islam. Demikian pula metode empiris bahkan eksperimental pun sudah dikenal dan
dikembangkan dalam dunia ilmu pengetahuan di masa jayanya perkembangan islam.
4. Filsafat islam dan pendidikan
Pendidikan adalah urusan manusia (dalam arti manusia dewasa) untuk
memanusiakan (manusia yang belum dewasa) manusia (dewasa). Pengertian dewasa
biasa diartikan sebagai mampu melaksanakan fungsi dan tugas hidupnya secara
bertanggung jawab. (Zuhairini, dkk, 2004:120)
Dalam Al Quran ditegaskan bahwa Allah adalah
Rabbal ‘alamin dan juga Rabbal Nas, artinya bahwa Allah adalah pendidik bagi
alam semesta dan juga pendidik bagi manusia. Pengertian tersebut diambil karena
kata Rabb dalam arti Tuhan dan Rabb dalam arti pendidik berasal dari akar kata
yang sama. (Omar Mohammad,1979: 41). Dengan demikian menurut Al Quran tersebut
bahwa alam dan manusia mempunyai sifat tumbuh dan berkembang dan yang mengatur
pertumbuhan dan perkembangan tersebut tidak lain adalah Allah jua.
Jadi mendidik dan pendidikan pada hekaketnya
adalah fungsi Tuhan, dan mendidik adalah mengatur serta mengarahkan pertumbuhan
dan perkembangan alam dan manusia sekaligus. Kenapa kenyataannya bahwa
pendidikan dan mendidik itu menjadi urusan manusia? Dalam pandangan filsafat
islam, sebagaimana ditegaskan dalam Al Quran, bahwa pada hakikatnya manusia
adalah “Khalifah Allah di alam semesta ini” (Quran, surat 2 (AlBaqarah):30;
Surat 6 (Al Anam): 165). Khalifah berarti kuasa atau wakil. Dalam statusnya
sebagai khalifah ini, berarti manusia hidup di alam mendapat kuasa dari peran
dan fungsi Allah di alam. Diantara tugas kekhalifahan, adalah mengembangkan
potensi pembawaan tersebut di alam, dalam kehidupan nyata.
Jadi pendidikan dalam filsafat islam, berarti mengembangkan potensi
manusiawi menurut pengaruh hukum-hukum Allah, baik Al Quran maupun Sunatullah.
Dan hal ini akan menghasilkan kebudayaan yang terus menerus berkembang.
C. FILSAFAT PENDIDIKAN
1.
Pendidikan
Istilah pendidikan,
dalam bahasa Inggris “education”, berakar dari bahasa Latin “educare” yang
dapat diartikan pembimbingan berkelanjutan (to lead forth). Jika diperluas arti
etimologis itu mencerminkan keberadaan pendidikan yang berlangsung dari
generasi ke generasi sepanjang eksistensi kehidupan manusia. Suparlan
Suhartono, 2009:77). Dalam arti khusus, Langeveld (Uyoh Sadulloh, 2011: 54)
mengemukakan bahwa pendidikan adalah bimbingan yang diberikan oleh orang dewasa
kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai kedewasaannya. Pendidikan dalam
arti luas merupakan usaha manusia untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya,
yang berlangsung sepanjang hayat. (Uyoh Sadulloh, 2011:55). Menurut Handerson
(dalam Uyoh sadulloh, 2011:55), pendidikan merupakan suatu proses pertumbuhan
dan perkembangan, sebagai hasil interaksi individu dengan lingkungan sosial dan
lingkungan fisik, berlangsung sepanjang hayat sejak manusia lahir.
Dari pengertian-pengertian pendidikan diatas ada
beberapa prinsip dasar tentang pendidikan yang akan dilaksanakan, yaitu: 1)
pendidikan berlangsung seumur hidup, 2) tanggung jawab pendidikan merupakan
tanggung jawab bersama semua manusia, 3) bagi manusia pendidikan merupakan
suatu keharusan, karena dengan pendidikan manusia akan memiliki kemamapuan dan
kepribadian yang berkembang, yang disebut manusia seluruhnya (Handerson, 1959,
dalam Uyoh Sadulloh, 2011:56).
2. Tujuan Pendidikan
Plato (Sukardjo dan Ukim Komarudin,
2009: 14) mengatakan tujaun pendidikan sesungguhnya adalah penyadaran terhadap
self knowing dan self realization kemudian inquiry dn reasoning and logic.
Menurut Dewey (Sukardjo dan Ukim Komarudin, 2009: 14) tukuan pendidikan ialah
mengembangkan seluruh poteni yang dimiliki oleh peserta didik sehingga dapat
berfungsi secara individual dan berfungsi sebgai anggota masyarakat melalui
penyelenggaraan pendidikan dan pengajaran yang bersifat aktif, ilmiah dan
memasyarakat serta berdasarkan kehidupan nyata yang dapat mengembankan jiwa, pengetahuan, rasa tanggung
jawab, ketrampilan, kemauan, dan kehalusan budi pekerti.
Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
disebutkan bahwa tujuan pendidikan Nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab.
3.
Hubungan Filsafat,
Manusia, dan Pendidikan
a.
Pandangan filsafat
tentang Hakikat Manusia
Filsafat berpendapat
bahwa hakikat manusia itu berkaitan antara badan dan ruh. Islam secara tegas
mengatakan bahwa badan dan ruh adalah substansi alam, sedangkan alam adalah
makhluk dan keduanya diciptakan oleh Allah. Dalam hal ini dijelaskan bahwa
proses perkembangan dan pertumbuhan manusia menurut hukum alam material.
Menurut Islam, manusia terdiri dari substansi materi dari bumi dan ruh yang
berasal dari Tuhan. Oleh karena itu hakekat manusia adalah ruh sedangkan
jasadnya hanyalah alat yang dipergunakan oleh ruh semata. Tanpa kedua sunstansi
tersebut tidak dapat dikatakan manusia. (Jalaluddin dan Adullah Idi,2007:
130-131) Memang keberadaan manusia di muka bumi adalah suatu yang menarik.
Selain manusia selalu menjadi pokok permasalahan, ia juga dapat melihat bahwa
segala peristiwa dan masalah apa pun yang terjadi di dunia ini pada akhirnya
berhubungan dengan manusia. Oleh karena itu, dalam usaha mempelajari hakikat
manusia diperlukan pemikiran yang filosofis. Karena setiap manusia akan berpikir
tentang dirinya sendiri. Meskipun tingkat pemikirannya itu akan selalu
mempunyai perbedaan. (Nawawi, 1993 dalam Jalaluddin dan Adullah Idi, 2007:
131-132) Hal itu didasarkan pada pemikiran bahwa selain sebgai subjek
pendidikan, manusia juga merupakan objek pendidikan itu sendiri.
b.
Pandangan filsafat
tentang pendidikan
Cara kerja dan hasil
filsafat dapat dipergunakan untuk memecahan masalah hidup dan kehidupan
manusia, di mana pendidikan merupakan salah satu aspek dari kehidupan tersebut,
karena hanya manusialah yang dapat melaksanakan pendidikan. Oleh karena itu
pendidikan membutuhkan filsafat. Mengapa pendidikan membutuhkan filsafat?
Karena masalah-masalah pendidikan tidak hanya menyangkut pelaksanaan pendidikan, yang hanya terbatas
pada pengalaman. Dalam pendidikan akan muncul masalah-masalah yang lebih luas,
lebih dalam, serta lebih kompleks, yang tidak terbatasi oleh pengalman maupun
fakta-fakta pendidikan yang faktual, tidak memungkinkan dapat dijangkau oleh
sains pendidikan. (Sadulloh Uyoh, 2007: 58)
Hubungan filsafat
dengan pendidikan dapat kita ketahui, bahwa filsafat akan menalaah suatu
realitas dengan lebih luas, sesuai dengan cirri berpikir filsafat, yaitu
radikal, sistematis, dan universal. Konsep tenatng dunia dan pandangan tenatng
tuuan hidup tersebut akan menjadi landasan dalam menyusun tujuan pendidikan.
Brubacher (1950)
dalam Sadulloh Uyoh (2007:71),mengemukkan tentang hubungan antara filsafat
dengan pendidikan dalam hal ini filsafat pendidikan: bahwa filsafat tidak hanya
melahirkan sains atau penegtahuan baru, melainkan juga melahirkan filsafat
pendidikan. Bahkan John Dewey berpandangan bahwa filsafat merupakan teori umum
bagi pendidikan.
D.
Filsafat Pendidikan Islam
1.
Pengertian
Filsafat Pendidikan Islam
Berbagai ahli mencoba merumuskan pengertian
filsafat pendidikan Islam, Muzayyin Arifin, misalnya mengatakan bahwa filsafat
pendidikan Islam pada hakikatnya adalah konsep berfikir tentang hakikat
kemampuan manusia untuk dibina dan dikembangkan serta dibimbing menjadi manusia
muslim yang seluruh pribadinya dijiwai oleh ajaran Islam. Definisi ini memberi
kesan bahwa filsafat pendidikan Islam sama dengan filsafat pendidikan pada
umumnya. Dalam arti bahwa filsafat Islam mengkaji tentang berbagai masalah
manusia sebagai subjek dan objek pendidikan, kurikulum, metode, lingkungan,
guru, dan sebagainya.
Perbedaan Filsafat Pendidikan Islam dengan
Filsafat Pendidikan pada umumnya adalah bahwa di dalam filsafat pendidikan
Islam, semua masalah kependidikan tersebut selalu didasarkan pada ajaran Islam
yang bersumberkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Dengan kata lain bahwa kata Islam
yang mengiringi kata falsafat pendidikan ini menjadi sifat, yakni sifat dari
filsafat pendidikan tersebut. Dalam hubungan ini Ahmad D. Marimba mengatakan
bahwa filsafat pendidikan Islam bukanlah filsafat pendidikan tanpa batas.
Selanjutnya ketika ia mengomentari kata ‘radikal’ yang menjadi salah satu ciri
berpikir filsafat mengatakan bahwa pandangan ini keliru. Radikal bukan berarti
tanpa batas. Tidak ada di dunia ini disebut tanpa batas, dan bukankah dengan
menyatakan bahwa seorang muslim yang telah menyalini isi keimannanya, akan
mengetahui dimana batas-batas pikiran (akal) dapat dipergunakan, dan jika ia
berfikir, berfilsafat mensyukuri nikmat Allah, berarti ia radikal (konsekuen)
dalam batas-batas itu. Menurut Ahmad D Marimba, inilah sifat radikal dari
filsafat Islam.
2. Hakikat dan Tujuan Falsafah Pendidikan Islam
Pada hakikatnya, pendidikan Islam adalah suatu proses yang
berlangsung kontinyu/berkesinambungan, berdasarkan hal ini, maka tugas dan
fungsi yang diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya
dan berlangsung sepanjang hayat. Konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi
pendidikan memiliki sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh
berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai hayatnya. Secara umum
tugas pendidikan Islam adalah membimbing dan mengarahkan pertumbuhan dan
perkembangan peserta didik dari tahap ke tahap sampai ke titik kemampuan
optimal. Sementara fungsinya adalah menyediakan fasilitas yang dapat
memungkinkan tugas pendidikan berjalan dengan lancar. Secara garis besarnya
pengertian itu mencakup tiga aspek, yaitu: (1) Seperangkat teknik atau cara
untuk memberikan pengetahuan, keterampilan dan tingkah laku, (2) Seperangkat
teori yang maksudnya untuk menjelaskan dan membenarkan penggunaan teknik dan
cara-cara tersebut, (3) seperangkat nilai, gagasan atau cita-cita sebagai
tujuan yang dijelmakan serta dinyatakan dalam pengetahuan, keterampilan dan
tingkah laku, termasuk jumlah dan pola latihan yang harus diberikan.
Dasar dan tujuan filsafat pendidikan Islam
pada hakikatnya identik dengan dasar dan tujuan ajaran Islam atau tepatnya
tujuan Islam itu sendiri. Dari kedua sumber ini kemudian timbul pemikiran-pemikiran
mengenai masalah-masalah keislaman dalam berbagai aspek, termasuk filsafat
pendidikan. Lebih lengkap kongres se-Dunia ke II tantang pendidikan Islam tahun
1980 di Islamabad, merumuskan bahwa: Tujuan pendidikan Islam adalah untuk
mencapai keseimbangan pertumbuhan kepribadian manusia secara menyeluruh dan
seimbang yang dilakukan melalui latihan jiwa, akal pikiran (inteletual), diri
manusia yang rasional; perasaan indera. Karena itu, pendidikan hendaknya
menacakup pengembangan seluruh aspek fitrah peserta didik; aspek spritual,
intelektual, ianajinasi, fisik, ilmiah, dan bahasa, baik secara individual
maupun kolektif; dan mendorong semua aspek tersebut berkembang ke arah kebaikan
dan kesempurnaan. Tujuan terakhir pendidikan muslim terletak pada perwujudan
ketundukan yang sempurna kepada Allah, baik secara pribadi, komunitas, maupun
seluruh umat manusia.
3.
Urgensi Bangunan Filsafat Pendidikan Islam
Para ahli telah menyoroti dunia pendidikan
yang berkembang saat ini, baik dalam pendidikan Islam pada khususnya maupun
pendidikan pada umumnya, bahwa pelaksanaan pendidikan tersebut kurang bertolak
dari atau belum dibangun oleh landasan filosofis yang kokoh, sehingga
berimplikasi pada kekaburan dan ketidakjelasan arah dan jalannya pelaksanaan
pendidikan itu sendiri. Kegelisahan yang dihadapai oleh Abdurrahman misalnya,
yang dikutip dari Muhaimin, mengemukakan bahwa pelaksanaan pendidikan agama
Islam selama ini berjalan melalui cara dialektis metodis seperti halnya
pengejaran umum, dan lebih didasarkan pada basis pedagogis umum yang berasal
dari filsafat penelitian model Barat, sehingga lebih menekankan pada “transisi
pengetahuan agama”. Untuk menemukan pedagogis Islam diperlukan lebih dahulu
rumusan filsafat pendidikan Islam yang kokoh.
Para ahli di bidang pendidikan telah meneliti
secara teoritis mengenai kegunaan filsafat Islam. Misalnya Omar Mohammad
al-Toumy al-Syaibany yang dikutip oleh Abudin Nata, mengemukakan tiga manfaat
dari mempelajari filsafat pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut; a) Filsafat
pendidikan dapat menolong para perancang pendidikan dan orang-orang yang
melakukannya dalam suatu negara untuk membentuk pemikiran sehat terhadap proses
pendidikan, b) Filsafat pendidikan dapat menjadi asas yang terbaik untuk
penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh, dan c) Filsafat pendidikan
Islam akan mendorong dalam memberikan pendalaman pikiran bagi faktor-faktor
spiritual, kebudayaan, sosial, ekonomi, dan politik di negara kita.
Berdasarkan pada kutipan di atas timbul kesan
bahwa kegunaan dan fungsi filsafat pendidikan Islam ternyata amat strategis. Ia
setidaknya menjadi acuan dalam memecahkan berbagai persoalan dalam pendidikan.
Filsafat akan membantu mencari akar dari setiap permasalahan pendidikan. Dengan
berdasarkan pada filsafat pendidikan ini setiap masalah pendidikan akan dapat
dipecahkan secara komprehensip, integrated, dan tidak partial, tambang sulam
atau sepotong-potong. Membangun Tradisi Keilmuan Pendidikan Islam
Jika kita perhatikan masa kejayaan Islam, tentunya hal yang menarik kita
perhatikan adalah tradisi keilmuan masyarakat Islam pada waktu itu.
Kesadaran akan ilmu dan kecintaan akan ilmu
sangat tinggi, tradisi yang berkembang pada waktu itu adalah tradisi membaca,
menulis, berdiskusi, keterbukaan/kebebasan berfikir, penelitian serta
pengabdian mereka akan keilmuan yang meraka kuasai. Tradisi itu terlihat dari;
kecintaan mereka akan buku-buku yang hal itu dibarengi dengan adanya
perpustakaan-perpustakaan baik atas nama pribadi yang diperuntukkan kepada
khalayak umum atau yang disponsori oleh khalifah, para ulama biasanya open
hause bagi siapa aja yang mau datang kerumahnya untuk membaca, kedudukan meraka
juga dimata masyarakat sangat mulia. Sedemikian cintanya masyarakat akan ilmu
sampai-sampai khalifah pada waktu itu untuk merebut hati masyarakat harus
memberi perhatian kepada pengembangan ilmu. Kebebasan berpikir yang tinggi
memicu tradisi berdiskusi dan berdebat, meraka menjadikan perpustakaan dan
masjid sebagai tempat bertemu untuk berdiskusi. kebutuhan untuk berkarya, sehingga
kemandekan pemikiran bisa diatasi.
Tradisi keilmuan ini juga telah berkembang di
tradisi keilmuan barat; motivasi mereka sangat tinggi untuk mencari ilmu,
tradisi membaca dan berdiskusi tinggi, tradisi meneliti yang tinggi,
keterbukaan berfikir dan kebutuhan untuk berkarya juga sangat tinggi. Teknologi
dan informasi kebanyakan dikuasai oleh barat, banyak temuan dan peraih nobel
pengetahuan bukan dari kalangan Islam. Inilah menurut penulis kemajuan barat
dan Islam abbasiyah dalam hal ilmu pengetahuan yang perlu kita kembangkan dalam
rangka kemajuan dibidang pendidikan Islam. Inilah yang harus kita lakukan untuk
mengejar ketertinggalan. Kita harus membangun tradisi keilmuan yang kondusif
dalam lingkungan masyarakat akademis. Menciptakan tradisi membaca, tradisi
menulis, berdiskusi, meneliti, keberanian untuk berfikir kreatif dan
terbangunnya kebutuhan akan berprestasi dan berkarya.
Bagi lembaga sekolah dan pendidik harus mampu
memberikan kebijakan dalam rangka membentuk tradisi intelektul (membaca,
menulis, meneliti dan berdikusi serta berkarya) di kampus atau disekolah,
misalnya dengan mengadakan lomba karya tulis ilmiah, lomba penelitian, lomba
debat, memberikan motivasi untuk membaca, menggunakan metode dan media yang
bisa mengembangkan daya pikir, kreatifitas, membuat program-program lainya
untuk pengembangan diri dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk belajar.
Bagi orang tua membantu menciptakan suasana
akademis dirumah, dengan mengarahkan meraka untuk belajar dan selalu memotivasi
meraka untuk maju. Orang tua juga berkewajiban mengawasi prilaku anak didik,
orang tua juga harus mengetahui program sekolah, sehingga kegiatan sekolah
terbantu oleh orang tua ketika mereka berada diluar sekolah. Antara sekolah
(lembaga Pendidikan Islam), guru (pendidik) dan orang tua anak didik harus
saling komunikasi; Sekolah mengetahui kebutuhan masyarakat dan masyarakat
mengetahui kebutuhan sekolah, mengetahui problem anak didik dan sebagainya. Hal
ini memungkinan untuk mengetahui dan selanjutnya membicarkan problem-prolem
pendidikan yang sedang terjadi, sehingga ditemukan solusi yang tepat untuk
berbagai pihak. Pengembangan tradisi-tradisi keintelektualan seperti diatas
harus dikembangkan mulai dari pendidikan dasar. Jika tradisi tersebut tidak
dikembangkan dari pendidkan dasar, maka pendidik akan kesulitan menciptakan
tradisi keilmuan untuk mereka, sehingga penciptaan tradisi itu selalu terlambat
untuk diterapkan.
Learning Society; Upaya Memberdayakan Pendidikan Masyarakat.
Keprihatinan bangsa ini yang dilanda krisis
multidimensi dalam berbagai aspek kehidupan menuntut peran pendidikan Islam
sebagai benteng sekaligus mencetak generasi penerus untuk memperbaiki kondisi
yang ada. Menjadi sangat wajar jika beban dari krisis ini seluruhnya dibebankan
kepada pendidikan. Baiknya suatu bangsa bisa dilihat dari baiknya
pendidikannya, majunya suatu bangsa juga dipengaruhi dari pendidikannya.
Persepsi masyarakat terhadap sekolah mewakili kondisi yang ada dalam masyarakat/negara.
Kenyataan ini, misalnya, telah pula mendapat perhatian para filosof sejak zaman
Plato dan Aristoteles, sebagaimana diungkapkan bahwa ‘as is the state, so is
the school’ (sebagaimana negara, seperti itulah sekolah), atau ‘what you want
in the state, you put into school’ (apa yang anda inginkan dalam negara, harus
anda masukkan dalam sekolah). Hal ini menunjukan, bahwa keberhasilan dari
proses pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh pihak sekolah saja, tetapi peran
keluarga dan masyarakat juga berpengaruh terhadap keberhasilan pendidikan.
Berangkat dari hal inilah maka perlu
diperhatikan lingkungan di luar sekolah, baik secara formal maupun non formal,
bahkan informasi sekaligus. Harus ada upaya menciptakan lingkungan yang
kondusif, yang mampu mengembangkan potensi masyarakat guna mewujudkan tujuan
pendidikan yang disepakati bersama. Pengembangan pendidikan di Indonesia,
hendaknya dilihat sebagai suatu proses kelangsungan peradaban bangsa, maka
faktor-faktor psiko sosial budaya perlu diikutsertakan dalam merancang
pendidikan, dan perlu diciptakan situasi yang kondusif dalam pembelajaran.
Tranformasi sosial psikologis dan budaya adalah suatu keniscayaan yang
dihadapai bangsa ini, tetapi hal itu bisa dikendalaikan, khususnya dalam sektor
pendidikan. Transformasi ini memunculkan tatanan baru dalam masyarakat, untuk
itu perlu pendekatan sejenis sosial and culture enginering yang mampu mengendalikan
perubahan dan pergeseran ke arah yang diinginkan.Dalam upaya menciptakan
situasi kondusif bagi keberhasilan belajar hanya dapat terjadi bila seluruh
masyarakat kita menuju masyarakat learning society. Artinya, proses
mencerdaskan kehidupan bangsa seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 hendaknya
diselenggarakan melalui tiga jalur institusi pendidikan, yaitu; a) lingkungan
atau jalur sekolah dan jalur luar sekolah, b) dilaksanakan oleh berbagi pihak
termasuk kerjasama masyarakat dengan pemerintah, c) merupakan kegiatan yang
tidak terputus-putus hingga dapat disebut sebagai pendidikan seumur hidup (life
long education).
E.
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS)
1. Pengertian IPS
a. Ilmu social (social sciences)
Terjemahan social sciences dalam bahasa Indonesia,
juga berkecenderungan dua yaitu diterjemahkan ilmu social dan ilmu-ilmu social.
Deobold B. Van Dalen (Nursid Sumaatmadja, 1980: 7) mengemukakan bahwa ilmu-ilmu
sosial mempelajari tingkah laku manusia di masyarakat itu banyak aspeknya,
seperti aspek ekonomi, aspek sikap mental, aspek budaya, aspek hubungan social,
dan lain-lain sebagainya. Ilmu sosial adalah bidang-bidang keilmuan yang
mempelajari manusia di masyarakat.
b. Studi Sosial (Social Studies)
Berbeda dengan ilmu sosial, studi sosial bukan
merupakan suatu bidang keilmuan atau disiplin akademis, melainkan lebih
meruapakan suatu bidang pengakajian tentang gejala dan masalah sosial. Dalam
kerangka kerja pengkajiannya, studi social ini menggunakan bidang bidang
keilmuan yang termasuk ilmu sosial.
Studi social tidak terallu akademis teoritis.
Tetapi merupakan pengetahuan praktis yang dapat diajarkan mulai dari tingkat tinggi.
Pendekatan pada studi social bersifat interdisipliner atau multidispliner
dengan menggunakan berbagai bidang keilmuan. Sedangkan pendekatan ilmu sosial
lebih bersifat multidimensional dalam meninjau suatu gejala atau masalah sosial
dari berbagai dimensi ( segi, sudut, aspek) kehidupan.
Tugas studi sosial sebagai suatu bidang mulai
dari tingkat sekolah dasar sampai ke tingkat pendidikan yang lebih tinggi, yaitu
membina warga masyarakat yang mampu menyerasikan berdasarkan kekuatan-kekuatan
fisik dan sosial, dan mampu memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapinya.
Jadi, materi maupun metode penyajiannya harus sesuai dengan misis yang
diembannya. (Nursid:1980: 8-9).
c. ILmu Pengetahuan Sosial (IPS)
IPS bukan ilmu sosial. Pengajaran IPS tidak
hanya terbatas di perguruan tinggi, melainkan diajarkan mulai dari tingkat
sekolah dasar. Pengajaran IPS yang telah dilaksanakan sampai saat ini, baik
pendidikan dasar maupaun pendidikan tinggi,
tidak menekankan kepada aspek teorits keilmuannya, melainkan lebih
ditekankan kepada segi praktis mempelajari, menelaah mengkaji gejala dan
masalah sosial, yang tentu saja bobotnya sesuai dengan jenjang pendidikan
masing-masing.
Di Amerika Di sebut sosial studies, di
Indonesia kita kenal dengan istiliah IPS. Hakekat IPS adalah mempelajari bidang
kehidupan manusia di masyarakat, mempelajari gejala dan masalah sosial yang
menjadi bagian dari kehidupan tersebut. Secara mendasar IPS berkenaan dengan
kehidupan manusia yang melibatkan segala tingkah laku dan kebutuhannya. IPS
berkenaan dengan cara manusia menggunakan usaha memenuhi kebutuhan materinya,
memenuhi kebutuhan budayanya, kebutuhan kejiwaannya, pemanfaatan sumber daya
yang ada di permukaan bumi, mengatur kesejahteraan dan pemerintahannya, dan
lain-lain sebagainya yang mengatur serta mempertahankan kehidupan masyarakat
manusia.
2. Ruang lingkup IPS
Ruang lingkup IPS adalah manusia pada konteks sosialnya atau
manusia sebagai anggota msyarakat. Mengingat sumber dan materi IPS manusia
dalam konteks sosial itu demikian luasnya, maka pengajaran IPS di tiap jenjang
pendidikan kita harus melakukan pembatasan-pembatasan sesuai dengan kemampuan
siswa pada tingkat masing-masing.
Ruang lingkup IPS di tingkat sekolah dasar dibatasi sampai gejala
dan masalah sosial yang dapat dijangkau pada geografi dan sejarah. Terutama
gejala dan masalah sosial kehidupan sehari-hari yang ada pada lingkungan hidup
murid-murid SD tersebut. Di sekolah tingkat lanjutan ruang lingkup dan bobotnya
diperluas kepada masalah teknologi pada berbagai sektor kehidupan,
transporstasi, komunikasi, pengangguran, kelaparan, sumber daya, dan lain-lain
sebagainya.
Radius ruang lingup
penelaahan IPS di perguruan tinggi telah berkembang lebih jauh lagi. Pada
kesempatan ini pendekatan, metode pendekatan interdispliner atau multidispliner
dan pendekatan sistem harus benar-benar diperhatikan. (Nursid, 1980: 11-12)
F. Kontribusi filsafat pendidikan islam dan ips
1.
Filsafat pendidikan
islam dan ips
Pola dan sistem
berpikir filosofis dalam ruang lingkup yang menjangkau permasalahan kehidupan,
manusia, dan alam sekitar di atas, menjadi objek pemikiran filsafat pendidikan
islam. Oleh karena filsafat pendidikan islam mempunyai sasaran pembahasan
tentang hakekat permasalahan pendidikan yang bersumberkan ajaran islam maka
pola dan sistem berpikir serta ruang lingkup permasalahan yang dibahas pun
harus bertitik tolak dari pandangan Islam. Pandangan islam adalah
prinsip-pronsip yang telah diletakkan oleh Allah dan Rasulnya dalam kitab suci
Al Quran dan Al hadist yang dikembangkan oleh para mujahid dari waktu ke waktu.
Adapun pola dan sistem
pemikiran filosofis kependidikan yang berdimensi mikro adalah yang menyangkut
proses pendidikan yang meliputi tiga faktor, yaitu: a) Pendidik, 2) Anak didik,
3) Alat-alat pendidikan, baik yang bersifat material maupun nonmaterial.
(Muzayyin Arifin, 2012:8-9)
Dengan demikian akan
tampak jelas bahwa hasil pemikiran filsafat tenatng pendidikan islam itu
merupakan mattern of mind (pola piker) dari pemikir-pemikir yang bernapaskan islam
atau berkepribadian muslim.
Filsafat pendidikan
yang membahas permasalahan pendidikan islam tidak berarti membatasi diri pada
permasalahan yang ada di dalam ruang lingkup kehidupan beragama umat islam
semata-mata, melainkan juga menjangkau permasalahan yang luas yang berkaitan
dengan pendidikan bagi umat islam.
Dengan demikian,
semua permasalahan yang menyangkut kehidupan umat manusia yang berpengaruh
terhadap kehidupan umat manusia juga termasuk pemikiran filsafat pendidikan
islam. Misalnya masalah pendidikan yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan dan
teknologi, masalah perubahan social, masalah kependudukan, masalah
demoralisasi, dan sebagainya.
Akan tetapi, semua
permasalahan yang bukan agamis (nonreligius) yang menyangkut masalah sosial dan
ilmu pengetahuan serta teknologi itu dianalisis secara mendalam, sehingga
diperoleh hakikatnya, dari segi pandangan islam karena filsafat bertugas pokok
mencari hakikat dari segala sesuatu. Dari hakikat itulah timbul pemikiran yang
teoritis yang pada gilirannya menimbulkan pemikiran tentang strategi dan taktik
atau operasionalisasi kependidikan islam. Dari sinilah timbul pemikiran tentang
cara yang tepat untuk melaksanakan ide-ide kependidikan islam yang dituangkan
ke dalam apa yang disebut “Sistem Pendidikan Islam”.
2.
Dimensi kajian filsafat pendidikan islam dalam
ips
a. Ontologi : hakikat apa yang dikaji, penyelidikan prinsip-prinsip
realita.
Menurut
Syam (1988) ontologi kadang-kadang disamakan dengan metafisika. Sebelum
menyelidiki yang lain, manusia berusaha mengerti hakikat sesuatu. Dalam
berinteraksi dengan alam semesta, manusia melahirkan berbagai pertanyaan filosofis, di antaranya; apakah sesungguhnya
hakikat realita yang ada ini, apakah realita yang nampak ini suatu realitas
materi saja, ataukah ada sesuatu dibalik realita itu, satu "rahasia"
alam. Apakah wujud semesta ini bersifat tetap, kekal tanpa perubahan. Ataukah
hakikat semesta ini adalah perubahan semata-mata. Apakah realita ini terbentuk
satu unsur (monisme), dua unsur (dualisme), ataukah lebih dari dua unsur
(pluralisme).
Suatu
realita sebagai suatu perwujudan, menampakkan diri sebagai satu
"tubuh", satu eksistensi. Sesuatu itu mendukung satu perwujudan,
yakni-keseluruhan sifatnya. Yang utama dari perwujudan itu adalah eksistensinya.
Wujud atau adanya sesuatu itu adalah primer, sedangkan sifat-sifat yang lain
seperti ukurannya, bentuknya, warnanya, beratnya dan sebagainya hanyalah
sekunder.
Sebagai contoh, apakah sesungguhnya hakikat lantai dalam ruang
belajar. Ada yang menjawab bahwa lantai itu bersifat datar, padat tetapi halus
dengan warna tertentu. Apakah bahannya, pastilah lantai itu suatu substansi
dengan kualitas materi. Inilah yang dimaksud bahwa lantai adalah suatu
realitas yang kongkrit. Para ahli ilmu alam menjawab, bahwa lantai itu
terbentuk dari molekul-molekul, yang terakhir atom-atom dan atom-atom tersebut
terbentuk dari electron-elektron, proton-proton dan neutron-neutron dan semua
itu tenaga listrik. Jadi lantai itu hakikatnya satu energi, tenaga listrik. Jadi
hakikat lantai menurut orang biasa adalah realita dalam wujud lantai yang
konkrit, sementara ahli ilmu alam memandang hakikat lantai dari sudut
pengertiannya (abstrak) yaitu tenaga listrik, energy, namun keduanya bersifat
realita.
Pandangan
ontologi di atas juga menjadi hal utama dalam pendidikan IPS, sebab anak
didik/peserta didik bergaul dengan dunia lingkungannya dan mempunyai dorongan
kuat untuk mengerti sesuatu. Peserta didik, baik di masyarakat maupun di
sekolah selalu menghadapi realita, obyek pengalaman: benda mati, benda hidup.
Bagaimana pandangan relegius mengenai makhluk hidup yang berakhir dengan
kematian, bagaimana kehidupan dan kematian itu dapat dimengerti. Begitu pula
realitas semesta, eksistensi manusia yang memiliki jasmani dan rohani, bahkan
bagaimana sebenarnya eksistensi Tuhan Maha Pencipta. Tujuan utama dari IPS
ialah bagaimana siswa diajari untuk dapat membuat keputusan dan tindakan yang
rasional. Untuk dapat membuat keputusan yang rasional maka ia harus memiliki
ketrampilan intelektual yang tinggi, hal ini digunakan untuk menjawab
pertanyaan dan persoalan baik yang datangnya dari individu atau masyarakat.
Dalam berpikir rasional peserta didik harus berdasarkan pada ajaran agama.
Bukanlan
kewajiban sekolah atau pendidik semata untuk
membimbing peserta didik memahami dunia nyata, tetapi sekolah
berkewajiban membina peserta didik
tentang kebenaran yang berpangkal pada realita itu. Realita adalah
sebagai tahapan pertama dan stimulus untuk menyelami kebenaran. Peserta didik
didik wajib dibina potensi berpikir kritisnya guna mengerti kebenaran. Mereka
harus mampu mengerti perubahan-perubahan dalam lingkungannya ; adat-istiadat,
tata sosial dan pola-pola masyarakat, nilai moral dan hukum. Disini IPS
memegang peranan penting, setiap perubahan lingkungan yang terjadi selalu
berhubungan dnegan aktivitas dan perilkau manusia.
Dengan
demikian, implikasi pandangan ontologi dalam dunia pendidikan Islam dalam
hubungannya dengan IPS adalah bahwa dunia pengalaman manusia, termasuk peserta
didik yang harus memperkaya kepribadian bukanlah hanya dalam raga dan isinya
dalam arti pengalaman sehari-hari, melainkan sebagai sesuatu yang tak terbatas,
realitas fisik, spritual yang tetap dan yang berubah-ubah (dinamis).
b. Epistemologi
Epistimologi:
Cara mendapatkan/hakikat pengetahuan, penyelidikan prinsip-prinsip ilmu
pengetahuan. Sejauh ini dunia pendidikan dianggap sebagai proses penyerahan
kebudayaan umumnya, khususnya ilmu pengetahuan. Apakah sesungguhnya ilmu itu,
dari mana sumbernya, bagaimana proses terjadinya dan sebagainya merupakan
bidang garapan epistemologi. Jadi epistemologi suatu cabang filsafat yang
membahas sumber, proses, syarat, batas, validitas dan hakikat pengetahuan.
Epistemologi memberikan kepercayaan dan jaminan kepada pendidik bahwa ia
memberikan kebenaran kepada peserta didik.
Sebagai
contoh, perkataan "tahu" yang mengandung pengertian-pengertian
berbeda-beda, baik sumbernya maupun validitasnya :
1. Kau tak dapat menipu saya. Saya
"tahu" siapa penipu dan siapa bukan penipu;
2. Tentu saya
"tahu" ia menangis, karena saya melihatnya
3. Percayalah, saya
"tahu" apa yang saya bicarakan, bukankah konstitusi kita menyatakan
demikian ;
4. Kami
"tahu" bahwa jabatan itu safe, karena baru saja kami melewatinya
dengan aman.
Masing-masing
pernyataan di atas menyatakan wujud atau keadaan "tahu".
Masing-masing contoh berdasarkan cara tahu dan alasan-alasan tahun yang
berbeda. Contoh nomor (1) tahu berdasarkan
pertimbangan yang bersifat pribadi. Apa yang dilihat dan ditafsirkannya
sebagai penipu/tindak kriminil, mungkin sama-sekali tidak dimengerti oleh orang
lain. Contoh nomor (2) tahu yang bersumber dari data observasi langsung. Ia
percaya dan tahu apa yang ia sadari itu benar adanya, sebab kesadaran panca
indranya menghayati realita demikian. Contoh nomor (3) tahu berdasarkan atas
status/wewenang siapa yang menyatakan, juga sumber yang berwujud dokumen (undang-undang),
tak mengharuskan adanya observasi langsung. Contoh nomor pada (4) tahu
adalah/diperoleh dari produk pengalaman-pengalaman yang teruji seluruh
penghayatan, bukan hanya kesan indra saja.
Dalam pembelajaran IPS, siswa membutuhkan
pengetahuan tentang hal-hal dunia luar yang luas dan juga tentang dunia
lingkungannya yang sempit. Siswa perlu memahami hal-hal berkaitan dengan
individunya, lingkungannya, masa lalu, masa kini dan masa datang.
Pengetahuan-pengetahuan yang terspesialisasikan atau disiplin ilmu tidak dapat
kita pungkiri kegunananya, namun hal ini tidaklah ckup untuk memahami secara
komprehensif fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Untuk itu diperlukan
kajian filsafat pendidikan islam yang bertolak pada alquran dan hadis dan
pemikiran-pemikiran manusia.
c. Aksiologi
Aksiologi : Nilai kegunaan ilmu, penyelidikan tentang prinsip-prinsip
nilai. Brameld dalam Syam (1988) membagi nilai dalam aksiologi menjadi : 1).
Moral conduct, tindakan moral, bidang ini melahirkan disiplin khusus yaitu
Ethika, 2). Esthetic expression, ekspresi keindahan, yang melahirkan Esthetika,
dan 3). Socio-polical life, kehidupan sosio-politik, Yang melahirkan ilmu
filsofat sosio-politik.
Masalah-masalah aksiologi di atas menjelaskan dengan keriteria
atau prinsip tertentu, apakah yang dianggap baik di dalam tingkah laku manusia
itu, apakah yang dimaksud indah dalam seni dan apakah yang benar dan
diinginkan dalam organisasi social kemasyarakatan-kenegaraan.
Implikasi aksiologi dalam pembelajaran IPS adalah menguji dan
mengintegrasikan nilai tersebut dalam kehidupan manusia dan membinakannya dalam
kepribadian anak didik. Memang untuk menjelaskan apakah yang baik itu, benar,
buruk dan jahat bukanlah sesuatu yang mudah. Apalagi, baik, benar, indah dan
buruk, dalam arti mendalam dimaksudkan untuk membina kepribadian ideal anak,
jelas merupakan tugas utama pendidikan.
Pendidikan harus memberikan pemahaman/pengertian baik, benar,
bagus, buruk dan sejenisnya kepada peserta didik secara komprehensif dalam arti
dilihat dari segi etika, estetika dan nilai sosial. Dalam masyarakat,
nilai-nilai itu terintegrasi dan saling berinteraksi. Nilai-nilai di dalam
rumah tangga/keluarga, tetangga, kota, negara adalah nilai-nilai yang tak
mungkin diabaikan dunia pendidikan bahkan sebaliknya harus mendapat perhatian.
Pembelajaran nilai dalam ips
Istilah
nilai di kenal dengan kata “value” atau velere yang artinya baik atau kuat atau
berharga. Pengertian berharga adlah memiliki manfat bgi dirinya maupun
lingkungannya, dengan demikian perbuatannya akan selalu memberikan kebaikan
bagi kehidupan sebagai warga masyarakat. Pendidikn nilai dan pendidikan moral
kesamaa, perbedaanya hanya bersifat gradual dimana pendidikan nilai lebih
bersifat konseptual sedangkan pendidikan moral lebih bersifat operasional.
Implikasi daripertimabngan teoritk tersebut, maka dapat memperkuat
pandangan bahwa pendidikan nilai dan moral sangatlah penting, dan merupakan
misi untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Lebih penting bagi pencapaian
tujuan kewarganegaraan. Khusus kaitanya dengan strategi pembelajaran kini telah
dikembangakan berbagai model pembelajaran nilai dan moral. Dikembnagkan atas
dasar keunikan dan tujuan dari pendidikan nilai, yang menyentuh aspek afektif,
yang perlu dilakoni dan pembiasaaan dari para pelajar. Dengan demikian dapat
dibedakan dengan pembelajaran IPS yang
berorientasi apda nilai dengan pembelajaran mata peljaraan lainnya yang lebih
menenkankan kepada pengetahuan. Hal ini akan Nampak pada pemilihan materi pembelajaran,
pemilihan metode dan media serta peran peserta didik dan guru termasuk system
evaluasinya.
Pendidikan
nlai bertujuan untuk membantu peserta didik menumbuhkan dan memperkuat siste
nilai yang dipilih dan dmilikinya untuk dijadikan dasar penampilan perilaku
dalam kehidupan bermasayarakat. (suwarma,, 2000:256) Suwarma menambhakan
Disampig itu pendidikan nilai menenkankan pada pengembangan kemmapuan bersikap
yang memilki keunggulan untuk mengtasi kelemahan pembelajaran yang lebih
mennekankan aspek pengetahuan dari sikap dan ketrampilan social.
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Filsafat pendidikan islam sebagai bagian atau komponen dari suatu
sistem, ia memegang dan mempunyai peranan penting pada pembelajaran ips dimana
ia merupakan bagiannya. Sebagai cabang ilmu pengetahuan, maka ia berperan dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dalam hal ini IPS. Dengan demikian filsafat
pendidikan islam berperan mengembangkan filsafat islam, dan memperkaya IPS
dengan konsep-konsep dan pandangan filosofis dalam bidang IPS.
Dalam prakteknya filsafat pendidikan islam banyak berperan dalam
memberikan alternatif-alternatif pemecahan berbagai macam problem yang dihadapi
oleh ips. Dan memberikan pengarahan terahdap perkembangan pendidikan ips.
1. Pertama, filsafat pendidikan am menunjukkan problema yang dihadapi
oleh IPS sebagai hasil dari pemikiran yang mendalam, dan berusaha untuk memahami
permasalahannya. Dengan analisa filsafat islam, bisa menunjukkan alternatif-alternatif
pemecahan masalah tersebut. Setelah melalui proses selektif mana yang paling
afektif, maka dilaksanakan alternatif tsresbut dalam praktek pendidikan ips.
2. Kedua, filsafat pendidikan islam memberikan pandangan tertentu
tentang manusia sebagai makhluk bermasyarakat. Pandangan tentang hakikat
manusia tersebut berkaitan dengan tujuan hidup manusia dan sekaligus juga
merupakan tujuan pendidikan ips.
3. Ketiga, filsafat pendidikan islam dengan analisanya terhadap
hakikat hidup dan kehidupan manusia, berkesimpulan bahwa manusia mempunyai
potensi pembawaan yang harus ditumbuhkan dan diperkembangkan.
B.
Saran
Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) memerankan
peranan yang signifikan dalam mengarahakan dan membimbing anak didik pada
nilai-nilai dan perilaku yang demokratis memahami dirinya dalam konteks
kehidupan masa kini, memahami tanggung jawabnya sebagian bagian dari masyarakat
global yang interdependen. Hal ini sudah menjadi tanggung jawab program IPS
untuk mempersiapkan anak didik untuk mengenali, memahami dan berkarya
memecahkan masalah-masalah yang sudah menjadi
bagian dari bangsa dan masyarakat dunia lainnya. Untuk menanggulangi masalah-masalah
tersebut diatas maka dipandang sangat perlu mengajarkan kepada anak didik pendidikan
agama sebagai akar dari ilmu pengetahuan terutama IPS.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. (2003). Ilmu Sosial Dasar: Mata kuliah Dasar Umum.
Jakarta: Rineka Cipta
Al Mu Chtar Suwarma. Strategi Pembelajaran Pendidikan IPS.
Bandung: UPI Press
ALQURAN
Anshari, E.S. (1981). Ilmu, Filsafat dan Agama. Surabaya: Bina
Ilmu.
Arifin, Muzayyin, (2012). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
Bunyamin Maftuh, Ridwan Effendi,
Sapriya. (2009). Pengembangan Pendidikan IPS SD. Jakarta: dirjen dikti
Ihsan, Fuad H.A. (2010). Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta
Jalaluddin dan Abdullah Idi. (2007). Filsafat Pendidikan. Manusia, Filsafat, dan Pendidikan. Yogyakarta: Ar Ruz
media
John, Dewey. Democracy and Education, new York the free press 1966
Juun S. S. (2003. Filsafat IImu Sebuah Pengantar Popular. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Kencana, Inu Syafiie. (2004). Pengantar filsafat. Bandung: Refika Aditama
Nata, Abidin. (2009). Ilmu Pendiikan Islam. Dengan Pendekatan Multidisipliner.
Jakarta: Rajawali Pers.
Sadulloh, Uyoh. (2007). Filsafat Pendidikan. Bandung: Cipta Utama
Sadulloh, Uyoh. (2011). Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabetaria
Omar Muhammad al Touny al Syaibany. (1979).
Falsafah Pendidikan Islam, terjemahan
Hasan Langgalung. Jakarta: Bulan Bintang
Sapriya. 2009. Pendidikan IPS: Konsep
dan Pembelajaran. Bandung: Rosda
Sirajudin. (2004). Filsafat Islam. Filosof dan Filsafatnya.
Jakarta: Raja Grafindo Persada
Suhartono, Suparlan. (2006). Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar Ruz
media
Sumaatmadja, Nursid. (1980). Metodologi Pengajaran Ilmu Pengetahuan Sosial
(IPS). Bandung: Alumni
Surajiyo. (2005). Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Cet ke1. Jakarta: Bumi Aksara
Tafsir, Ahmad. (2010). Filsafat Umum. Akal dan Hati Thales sampai
James. Pengantar Kepada Filsafat untuk Mahasiswa Perguruan Tinggi Lainnya.
Bandung: Remaja Rosdakarya
Tafsir, Ahmad. 1990. Filsafat Ilmu. Akal dan Hati Thales Sampai
James. Pengantar Kepada Filsafat untuk Mahasiswa IAIN dan Perguruan Tinggi
Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya
The Liang gie. (1996). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty
Wiramihardja, Sutarjo. (2009). Pengantar Filsafat. Sistematika dan Sejarah
Filsafat Ilmu (Epistemology) Metafisika dan Filsafat Manusia Aksiologi.
Bandung: Refika Aditama
Zuhairini, dkk. (2008). Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar